BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia
membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan usaha agar
manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran
dan/atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat. Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap
warga negara berhak mendapat pendidikan, dan ayat (3) menegaskan bahwa
Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional
yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang. Untuk itu,
seluruh komponen bangsa wajib mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan
salah satu tujuan negara Indonesia.
Pendidikan
nasional mempunyai visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial
yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia
berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif
menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.
Sedangkan
misi pendidikan nasional adalah mengupayakan perluasan dan pemerataan
kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia
serta membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh
sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar;
meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk
mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral. Untuk mewujudkan misi
tersebut perlu dilakukan langkah dan strategi diantaranya adalah pelaksanaan
program wajib belajar.
Pendidikan merupakan tiang pucang kebudayaan
dan fondasi utama untuk membangun peradaban sebuah bangsa. Arti penting
kesadaran pendidikan menentukan kualitas kesejahteraan sosial lahir batin masa
depan. Pendidikan memiliki peranan strategis menyiapkan generasi berkualitas
untuk kepentingan masa depan. Pendidikan sebagai salah satu kunci penting dalam proses perkembangan
untuk memajukan suatu bangsa dapat dikatakan demikian manakala tingkat
pendidikan suatu negara
dikatakan tinggi, setidaknya peradaban dan pola pikir masyarakat di Negara tersebut haruslah tinggi pula.
Dirasakan
atau tidak, pendidikan merupakan faktor penting dalam memartabatkan negara
maupun meningkatkan kemajuan secara majemuk sebuah negara. Tanpa pendidikan,
kemajuan sebuah bangsa akan semakin pudar tergerus oleh maraknya perkembangan
zaman yang menuntut pemahaman keilmuan yang satu-satunya jalan adalah dengan
meningkatkan taraf pendidikan tersebut.
Rendahnya tingkat dan kesadaran akan pentingnya pendidikan di
Indonesia merupakan pekerjaan rumah yang tidak mudah bagi pemerintah guna
memajukan peradaban dan tingkat kehidupan yang lebih baik dan mandiri.
Rendahnya tingkat pendidikan di Indonesia mendorong timbulnya berbagai
permasalahan sosial yang kian hari semakin meresahkan bangsa Indonesia. Salah
satu faktor yang dapat menjadi tolak ukur rendahnya tingkat pendidikan di
Indonesia adalah tingginya angka putus sekolah anak usia produktif (usia
sekolah). Selain tingginya angka putus sekolah, rendahnya minat anak
bahkan orang tua untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih
tinggi dirasakan masih sangat kurang. Adapun satu hal pokok di atas dapat
menjadi satu alasan betapa rendahnya tingkat pendidikan di Indonesia yang
memang bila ditelaah lebih mendalam bukan hanya pemerintah saja yang perlu
berpikir jauh, namun masyarakat dan tentunya para orang tua harus memahami
benar betapa pentingnya pendidikan untuk bekal hidup maupun sebagai anggota
dalam sistem tatanan masyarakat yang berbangsa dan bernegara.
Kelangsungan hidup bangsa kedepan
berada ditangan anak-anak dimasa sekarang. Jika menginginkan kesenangan dimasa
yang akan datang maka anak juga memperoleh haknya dimasa sekarang. Misalnya tempat
bermain, pendidikan, jaminan kesehatan, dan lain sebagainya. Sebagai perwujudan
rasa tanggung jawab terhadap kelangsungan hidup bangsa. Anak merupakan bagian
dari generasi muda, penerus cita-cita, dan perjuangan bangsa. Disamping itu,
anak merupakan sumber daya manusia yang perlu mendapatkan perhatian dan
perlindungan dari berbagai ancaman dan gangguan agar supaya hak-haknya tidak
terabaikan.
Pada kenyataan dimasyarakat tidak semua
kebutuhan untuk anak terpenuhi. Salah satunya dibidang pendidikan. Didalam
pendidikan Terdapat banyak anak putus sekolah (formal). Keadaan lingkungan yang
kurang mendukung, ekonomi, geografi, sosial ekonomi menjadi faktor
penyebab anak putus sekolah. Putus sekolah bukan merupakan salah satu
permasalahan pendidikan yang tak pernah berakhir. Masalah ini telah berakar dan
sulit untuk dipecahkan.
Data Badan Penelitian dan Pengembangan
(Balitbang) Departemen Pendidikan Nasional menunjukkan jumlah anak putus
sekolah di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2006 jumlahnya
899.786 anak. Setahun kemudian bertambah sekitar 20 % menjadi 899.986
anak. dari jumlah penduduk kelompok sekolah yang bersekolah 55,318,077 anak.
Para founding fathers sadar
sepenuhnya bahwa untuk membebaskan bangsa Indonesia dari kungkungan kebodohan
dan kemiskinan, jalan satu-satunya adalah dengan pendidikan. Kesadaran tersebut
dituangkan dalam rumusan Pembukaan UUD 1945 yang menegaskan bahwa salah satu
tujuan pembangunan nasional adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Selanjutnya, pada batang tubuh, pasal 31 UUD 1945 lebih tegas lagi
menyatakan”(1) setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”, dan ” (2)
setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya”. Pada masa reformasi, dengan memperhatikan kondisi global,
percepatan akselerasi pembangunan pendidikan menjadi prioritas utama
pembangunan. Untuk mendasarinya, Undang-Undang Dasar 1945 di amandemen dan
pasal 31 UUD 1945 ditambah ayatnya menjadi
(1)
Setiap warga negara berhak
mendapatkan pendidikan;
(2)
Setiap warga negara wajib
mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya;
(3)
Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan
dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
yang diatur dengan Undang-Undang
(4)
Negara memprioritaskan anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan
belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi
kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
(5)
Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan
dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa
untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Secara universal, pengakuan bahwa pendidikan
merupakan hak setiap umat manusia termuat dalam Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia, yang pada pasal 26 ayat 1 berbunyi “Setiap orang berhak memperoleh
pendidikan. Pendidikan harus dengan cuma-cuma, setidak-tidaknya untuk tingkatan
sekolah rendah dan pendidikan dasar. Pendidikan rendah harus diwajibkan.
Pendidikan teknik dan kejuruan secara umum harus terbuka bagi semua orang dan
pendidikan tinggi harus dapat dimasuki dengan cara yang sama, berdasarkan
kepantasan.” Kutipan tersebut memperlihatkan bagaimana sistem pendidikan yang
ideal, yang menggambarkan suatu bentuk sistem persekolahan disertai sistem
pendidikan luar sekolah, dengan tahapan yang linier.
Selanjutnya, tonggak penting pembangunan
pendidikan setelah kemerdekaan adalah disahkannya Undang-Undang No. 4 Tahun 1950
jo Undang-Undang no. 12 Tahun 1954.[2] Undang-undang ini merupakan
dasar hukum Sistem Pendidikan Nasional yang pertama diundangkan. Dalam
perkembangan kehidupan bangsa, Sistem Pendidikan Nasional diatur dengan
undang-undang yang sudah dua kali berubah, yaitu UU No. 2 Tahun 1989 maupun UU
No. 20 Tahun 2003.
Dalam semua Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional yang pernah berlaku di Indonesia tersebut, dinyatakan bahwa pendidikan
nasional merupakan alat dan sekaligus tujuan yang sangat penting dalam
perjuangan mencapai cita-cita dan tujuan nasional. Hal ini, terutama jika
dikaitkan dengan peran dan fungsi pendidikan nasional dalam pelaksanaan
pembangunan bangsa. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dengan perkataan lain,
pendidikan nasional berfungsi sebagai alat utama untuk mengembangkan kemampuan
serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat bangsa.
Peran pendidikan dalam peningkatan
produktivitas nasional yang ditunjukkan oleh data-data estimasi di atas sangat
berterima dan beralasan. Hal ini terutama jika ditinjau dari keberadaan
pendidikan yang pada hakikatnya merupakan indirect invesment bagi
proses produksi dan direct ivesment bagi peningkatan kualitas sumber
daya manusia (human quality). Pendidikan akan meningkatkan dan/atau
mempertinggi kualitas tenaga kerja, sehingga memungkinkan tersedianya angkatan
kerja yang lebih trampil, handal, dan sesuai dengan tuntutan pembangunan
nasional.
Karena itu, hampir semua bangsa menempatkan
pembangunan pendidikan sebagai prioritas utama dalam program pembangunan
nasional mereka. Sumber daya manusia yang bermutu, yang merupakan produk
pendidikan, merupakan kunci keberhasilan pembangunan suatu negara.
Menyadari hal tersebut, Pemerintah Republik
Indonesia secara terstruktur melaksanakan Program Wajib Belajar. Program
dimulai dengan Wajib Belajar 6 Tahun yang secara resmi dicanangkan pada tahun
1984 dan dilanjutkan dengan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun yang
dimulai pada tahun 1994. Program ini menargetkan pada tahun 2008 semua warga
negara Indonesia memiliki pendidikan minimal setara Sekolah Menengah Pertama
dengan mutu yang baik. Dengan bekal itu, diharapkan seluruh warga negara
Indonesia dapat mengembangkan dirinya lebih lanjut sehingga mampu memilih dan
mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan potensi yang dimiliki, sekaligus
berperan serta dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Menjelang terminal akhir tuntasnya Wajib
Belajar 9 Tahun, fokus pembangunan pendidikan yang dilaksanakan pemerintah
mulai bergeser pada pilar peningkatan mutu dan relevansi pendidikan. Pada
jenjang pendidikan dasar, mulai tahun ini (2008) pemerintah mulai mengurangi
program perluasan dan pemerataan akses dan menambah anggaran untuk meningkatkan
mutu pendidikan. Hal ini dilakukan karena terjadi kesenjangan yang merisaukan
antara upaya perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan. Realita di
masyarakat saat ini, walaupun kesempatan memperoleh pendidikan pada tingkat SD
sudah di atas 96% dan SMP sudah di atas 92%, namun ternyata kehidupan bangsa
yang cerdas masih jauh dari terwujud.
Oleh karena itulah makalah ini disusun untuk membahas mengenai mutu dalam wajib
belajar 9 tahun, apakah mutu pendidkannya sudah baik atau tidak, dan bagaimana
sebenarnya keadaan mutu pendidikan dalam wajib belajar 9 tahun tersebut.
B. Rumusan Masalah
Adapun masalah
yang dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana mutu kurikulum,
proses belajar mengajar, dan tenaga kependidikan Program Wajib Belajar Sembilan
Tahun ?
2.
Bagaimana mutu hasil belajar
program Wajib Belajar Sembilan Tahun?
C.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah
sebagai berikut:
1.
Untuk
menjelaskan bagaimana mutu kurikulum, proses belajar mengajar, dan tenaga
kependidikan Program
Wajib Belajar Sembilan Tahun.
2.
Untuk
menjelaskan mutu hasil belajar program Wajib Belajar
Sembilan Tahun.
D. Manfaat Penulisan
1.
Bagi guru,
mengetahui keadaan mutu pendidikan program wajib belajar sembilan tahun,
mengetahui bagaimana gambaran mutu tenaga kependidikan program wajib belajar
sembilan tahun.
2.
Bagi sekolah,
mengetahui bagaimana sebenarnya mutu pendidikan program wajib belajar sembilan
tahun dan menemukan solusi pemecahan masalah dalam masalah mutu program wajib
belajar sembilan tahun tersebut.
3.
Bagi pembaca,
mengetahui bagaimana mutu kurikulum, proses belajar mengajar, dan tenaga
kependidikan Program
Wajib Belajar Sembilan Tahun dan mutu hasil belajar program Wajib Belajar Sembilan Tahun.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Wajib Belajar
1. Latar Belakang Pelaksanaan Wajib Belajar
Program Wajib Belajar pada hakikatnya
merupakan upaya sistematis pemerintah untuk meningkatkan kualitas manusia
Indonesia, sehingga dapat berpartisipasi aktif dalam keseluruhan pembangunan
nasional serta adaptif dalam penyerapan informasi ilmu pengetahuan dan
teknologi (IPTEK), yang muaranya adalah mendekatkan pada pencapaian tujuan
pembangunan nasional, yakni masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945. Selain itu, Program Wajib Belajar juga merupakan salah
satu pengembangan skenario pendidikan yang dijangkaukan untuk perluasan dan
pemerataan kesempatan belajar bagi setiap warga negara. Kebijakan tersebut
merupakan salah satu pengejawantahan isi pasal 31 UUD 1945 ayat 1 yang menyatakan
bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Hal ini sejiwa dengan
Hasil Konferensi Pendidikan untuk Semua (Education for All) di
Jomtien, Thailand, Maret 1990. Konferensi yang dihadiri oleh 1500 peserta dari
155 negara tersebut menegaskan bahwa “pendidikan merupakan hak bagi semua orang
dan juga dapat membantu secara meyakinkan orang menjadi lebih aman, lebih
sehat, lebih berhasil, dan lebih berwawasan lingkungan”.
Dalam kaitannya dengan pendidikan untuk
semua tersebut, deklarasi pendidikan untuk semua di Indonesia, khususnya
berkaitan dengan pengembangan pendidikan dasar, adalah pendidikan semesta (Universal
Education). Artinya, sistem pendidikan nasional di Indonesia dikerangkakan
untuk membuka dan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada semua warga
negara untuk memperoleh pendidikan dasar.
Sejalan dengan isi deklarasi tersebut,
awalnya Program Wajib Belajar di Indonesia dimaknai sebagai pemberian
kesempatan belajar seluas-luasnya kepada setiap warga negara untuk mengikuti
pendidikan sampai dengan tingkat pendidikan tertentu .
Ditinjau dari dimensi pembangunan nasional
secara keseluruhan, Program Wajib Belajar merupakan salah satu bentuk
kebijakan nasional dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia
Indonesia. Meskipun secara makro, peningkatan sumber daya manusia tersebut juga
mencakup aspek sosial dan ekonomi, namun dimensi utama dan kuncinya adalah
pendidikan.
Dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan
kualitas sumber daya manusia Indonesia tersebut, sistem pendidikan nasional
harus dapat memberikan pendidikan dasar bagi setiap warga negara agar
masing-masing memperoleh sekurang-kurangnya pengetahuan dan kemampuan dasar
yang diperlukan untuk dapat berperan serta dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Oleh karena itu, Program Wajib Belajar mendesak untuk
dilaksanakan sehubungan dengan tuntutan untuk meningkatkan kualitas sumber
daya manusia sebagai salah satu aset dan potensi utama pembangunan nasional.
Menyadari betapa besar dan penting peran
pendidikan dalam peningkatan dan pengembangan kualitas sumber daya manusia,
Pemerintah mengambil langkah antisipatif dengan pencanangan dan pemberlakuan
Program Wajib Belajar bagi setiap warga negara. Pada tahap awal Pemerintah
telah mencanangkan Program Wajib Belajar 6 Tahun yang pada dasarnya merupakan
prasyarat umum bahwa setiap anak usia sekolah dasar (7-12 tahun) harus dapat
membaca, menulis, dan berhitung.
Program Wajib Belajar 6 Tahun yang
dicanangkan Pemerintah pada PELITA III tersebut telah memberikan dampak
positif dan hasil yang menggembirakan, terutama pada percepatan pemenuhan
kualitas dasar manusia Indonesia. Salah satu hasil yang paling mencolok
dirasakan, bahwa Program Wajib Belajar 6 Tahun tersebut telah mampu
menghantarkan Angka Partisipasi (Murni) Sekolah. Dalam rangka memperluas kesempatan
pendidikan bagi seluruh warga negara dan juga dalam upaya meningkatkan
kualitas sumber daya manusia Indonesia, Pemerintah melalui PP No. 28/1990
tentang Pendidikan Dasar menetapkan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9
Tahun. Orientasi dan prioritas kebijakan tersebut, antara lain: (1) penuntasan
anak usia 7-12 tahun untuk Sekolah Dasar (SD), (2) penuntasan anak usia 13-15
tahun untuk SLTP, dan (3) pendidikan untuk semua (educational for all).
Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9
Tahun diharapkan mampu mengantarkan manusia Indonesia pada pemilikan kompetensi
Pendidikan Dasar, sebagai kompetensi minimal. Kompetensi Pendidikan Dasar yang
dimaksudkan, mengacu pada kompetensi yang termuat dalam Pasal 13 UU No. 2/1989
yaitu kemampuan atau pengetahuan dan ketrampilan dasar yang diperlukan untuk
hidup dalam masyarakat serta untuk mengikuti pendidikan yang lebih tinggi
(pendidikan menengah). Hal ini juga relevan dengan unsur-unsur kompetensi pendidikan dasar
yang harus dikuasai lulusan seperti yang diidentifikasi oleh The
International Development Research Center, meliputi: (1) kemampuan
berkomunikasi; (2) kemampuan dasar berhitung; (3) pengetahuan dasar tentang
negara, budaya, dan sejarah; (4) pengetahuan dan ketrampilan dasar dalam bidang
kesehatan, gizi, mengurus rumah tangga, dan memperbaiki kondisi kerja; dan (5)
kemampuan berpartisipasi secara aktif dalam masyarakat sebagai individu dan sebagai
anggota masyarakat, memahami hak dan kewajibannya sebagai warga negara,
bersikap dan berpikir kritis, serta dapat memanfaatkan perpustakaan, buku-buku
bacaan, dan siaran radio. Program wajib belajar 9 tahun yang didasari konsep
“pendidikan dasar untuk semua” (universal basic education), juga
sejalan dengan Piagam PBB tentang Hak Asasi Manusia, tentang
Hak Anak, dan tentang Hak dan Kewajiban Pendidikan Anak.
Wajib
belajar 9 tahun juga bertujuan merangsang aspirasi pendidikan orangtua dan anak
yang pada gilirannva diharapkan dapat meningkatkan produktivitas kerja penduduk
secara nasional. Untuk itu, target penyelenggaraan wajib belajar 9 tahun bukan
semata-mata untuk mencapai target angka partisipasi sesuai dengan target yang
ditentukan namun perhatian yang sama ditujukan juga untuk memperbaiki kualitas
pendidikan dasar dan pelaksanaan pendidikan yang mangkus (efektif).
Pelaksanaan dan ketuntasan program wajib
belajar juga mampu mengurangi angka kemiskinan. Melalui pendidik ini pula,
bangsa Indonesia mampu mencapai cita-citanya, yaitu menciptakan kesejahteraan
bagi seluruh rakyat Indonesia. “Pendidikan adalah kekuatan”, maka Bangsa
Indonesia akan segera terbebas dari kebodohan dan kemiskinan serta menjadi
bangsa yang unggul pada kompetisi global.
Lebih lanjut, wajib belajar merupakan
fondasi bagi pengembangan .jenjang pendidikan lebih lanjut dan kemajuan
peradaban bangsa khususnya dalam menghadapi tantangan dan perkembangan zaman
dan kompetisi tingkat global. Pendidikan dasar juga mampu mewujudkan masyarakat
yang cerdas, dan ekonomi yang mapan sehingga negara menjadi maju.
Di sisi lain, pelaksanaan wajar baik 6 tahun
maupun 9 tahun secara umum bertujuan untuk: 1) memberikan kesempatan setiap
warga negara tingkat minimal SD dan SMP atau yang sederajat, 2) setiap warga
negara dapat mengembangkan dirinya lebih lanjut yang akhirnya mampu memilih dan
mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan potensi yang dimiliki, 3) Setiap warga
negara mampu berperan serta dalani kehidupan bermasyarakat berbangsa dan
bernegara, dan 4) Memberikan jalan kepada siswa untuk melanjutkan pendidikan ke
tingkat yang lebih tinggi.
Wajib belajar merupakan salah satu
program yang gencar digalakkan oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas).
Program ini mewajibkan setiap warga negara Indonesia untuk
bersekolah selama 9 (sembilan) tahun pada jenjang pendidikan dasar, yaitu
dari tingkat kelas 1 Sekolah Dasar (SD) atau Madrasah Ibtidaiyah (MI) hingga kelas 9 Sekolah
Menengah Pertama (SMP)
atau Madrasah
Tsanawiyah (MTs).
Landasan pokok keberadaan sistem pendidikan
nasional adalah UUD 45 Bab XIII, Pasal 31, ayat (1) Yang menyatakan bahwa:
Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran. Hal ini mengandung
implikasi bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu memberi kesempatan
belajar yang seluas-luasnya kepada setiap warga negara. Dengan demikian, dalam
penerimaan seseorang sebagai peserta didik, tidak dibenarkan adanya perlakuan
yang berbeda yang didasarkan atas jenis kelarruin, agama, ras, suku, Tatar
belakang sosial dan tingkat kemampuan ekonomi.
Program pendidikan wajib belajar di
Indonesia telah dirintis sejak tahun 1950. Dalam UU nomor 4 tahun 1950,
UU nomor 12 tahun 1954 telah ditetapkan bahwa setiap anak usia 8-14
tahunterkcna pendidikan wajib belajar. Namur program pendidikan wajib belajar
yang dicanangkan oleh pemerintah belum dapat berialan sebagaimana mestinya,
karena adanya pergolakan pohtik secara tetus-menerus. (A. Daliman, 1995:138).
Gerakan pendidikan wajib belajar sebagai
suatu gerakan secara nasional dan sekaligus sebagai bagian tak terpisahkan dari
pembangunan nasional dimulai sejak Pelita IV. Pada hari pendidikan nasional
tanggal 2 Mel 1984 secara resm’l Presiders Suharto mencanangkan dimulainya
pelaksanaan dan penyelenggaraan pendidikan wajib belajar.
Pada tahap ini penyelenggaraan pendidikan wajib belajar masih
terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Berbeda dengan pendidikan wajib belajar
tahun 1950, maka pendidikan wajib belajar tahun 1984 ini lebih diarahkan
kepada, anak-anak usla, 7-12 tahun.
Dua kenyataan mendorong segera
(illaksanakannya gerakan pendidikan wajib belajar tersebut. Kenyataan pertama,
ialah masih adanya anak usia 7-12 tahun yang belum pernah bersekolah atau putus
sekolah pada tingkat sekolah dasar, Pada tahun 1983 terdapat sekitar 2 juta
anak usia 7-12 tahun yang terlantar dan putus sekolah pada tingkat sekolah
dasar.
Sedangkan pada saat dicanangkannya
pendidikan wajib belajar pada tahun 1984 masih terdapat anak berusia 7-12 tahun
sekitar kurang lebih 1,5 juta orang yang belum bersekolah. Kenyataan kedua,
ialah adanya keinginan pemerintah untuk memenuhi ketetapan GBHN yang telah
mencanturnkan rencana penyelenggaraan pendidikan wajib belajar sejak GBHN 1978
maupun GBHN 1983. Gerakan pendidikan wajib belajar yang dimulai 2 Mel 1984
dipandang sebagai pemenuhan janji pemerintah untuk menyediakan sarana dan
prasarana pendidikan dasar secara cukup dan memadai, sehingga cita-cita
mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang termaksud dalam Pembukaan UUD 1945 segera
dapat diwujudkan. (Haris Mudjiman, 1994:1-2).
Peningkatan pendidikan wajib belajar menjadi
pendidikan wajib belalar 9 tahun dengan harapan terwujud pemerataan pendidikan
dasar (SD dan SLIP) yang bermutu serta lebih menjangkau penduduk daerah
terpencil. Hal ini sesuai dengan UU No: 2 tahun 1989 tentang stern pendidikan
nasional, kemudian lebih dipertegas lagi di dalam Undang-Undang RI No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasional sebagaimana yang tertuan pada pasal 34 sebagai
berukut:
a.
Setiap warga negara yang
berusia 6 tahun dapat mengikuti program wajib belajar.
b.
Pemerintah dan pemerintah
daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan
dasar tanpa memungut biaya.
c.
Wajib belajar merupakan
tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan. Pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat.
d.
Ketentuan mengenai wajib
belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur
lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Di dalam GBHN 1993, dicantumkan bahwa
pemerintah harus berupaya untuk memperluas kesempatan pendidikan baik
pendidikan dasar, pendidikan menengah kejuruan, maupun pendidikan profesional,
melalui jalur sekolah dan jalur luar sekolah. Dalam rangka memperluas
kesempatan belajar pendidikan dasar, maka pada tanggal 2 Mel 1994 pemerintah
mencanangkan program pendidikan wajib belajar 9 tahun. lebih lanjut dikemukakan
bahwa tahap penting dalam pembangunan pendidikan adalah meningkatkan pendidikan
wajib belajar 6 tahun menjadi 9 tahun. (Sri Hadjoko Wirjornartorio, 1995:49,
Ahmadi, 1991:74,182).
Pendidikan wajib belajar 9 tahun menganut
konsepsi pendidikan semesta (universal basic education), yaitu suatu wawasan
untuk membuka kesempatan pendidikan dasar. Jadi sasaran utamanya adalah
menumbuhkan aspirasi pendidikan orang tua dan peserta didik yang telah cukup
umur untuk mengikuti pendidikan, dengan maksud untuk meningkatkan produktivitas
angkatan kerja secara makro.
Maksud utamanya adalah agar anak-anak
memiliki kesempatan untuk terus belajar sampai dengan usia 15 tahun, dan
sebagai landasan untuk belajar lebih lanjut baik dijenjang pendidikan lebih
tinggi maupun di dunia kerja. (Kelompok PSDM, 1992, Adiwikarta, 1988).
Pelaksanaan pendidikan wajib belajar 9 tahun
telah diatur lebih luas di dalam UU No: 20 tahun 2003. Bahwa sistem pendidikan
nasional memberi hak kepada setiap warga negara memperoleh pendidikan yang
bermutu dan juga berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang
hayat (pasal 5 ayat 1 dan 5).
Bagi warga negara yang memiliki kelainan
emosional, mental, intelektual, dan atau sosial serta warga negara yang
memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan
khusus.
Demikian juga warga negara di daerah
terpencil atau terkebelakang serta masyarakat yang terpencil berhak memperoleh
pendidikan layanan khusus (pasal 5 ayat 2, 3 dan 4). Lebih jauh dijelaskan
bahwa pendidikan wajib belajar 9 tahun bagi anak usia 7 sampai 15 tahun harus
diselenggarakan oleh pemerintah (pusat), pemerintah daerah, dan masyarakat
tanpa dipungut biaya. (Arifin, 2003: 11).
Merujuk pada paparan yang telah dikemukakan
di atas, dapat dipahami bahwa ciri-ciri pelaksanaan pendidikan wajib belajar-9
tahun di Indonesia adalah; (1) tidak bersifat paksaan melainkan persuasif, (2)
ddak ada sansi hukum, (3) tidak diatur dengan Undang-Undang tersendiri, dan (4)
keberhasilan diukur dengan angka partisipasi pendidikan dasar yang semakin
menmigkat.
Selain itu, Program Wajar 9 th ini diperkuat
dengan Instruksi Presiden Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional
Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan
Pemberantasan Buta Aksara; berikut adalah beberapa hal yang relevan dengan
pembahasan yang dimuat dalam Permendiknas No 35 tahun 2006:
PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 35TAHUN2006 TANGGAL 18
SEPTEMBER 2006 PEDOMAN PELAKSANAAN GERAKAN NASIONAL PERCEPATAN PENUNTASAN WAJIB
BELAJAR PENDIDIKAN DASAR SEMBILAN TAHUN DAN PEMBERANTASAN BUTA AKSARA
(GNP-PWB/PBA)
a.
Tujuan GNP-PWB/PBA adalah:
1)
Mempercepat perluasan akses
anak usia 7-12 tahun di SD/MI/pendidikan yang setara dalam rangka mendukung
penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun pada akhir tahun 2008;
2)
Mempercepat perluasan akses
anak usia 13-15 tahun di SMP/MTs/pendidikan yang setara dalam rangka mendukung
penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun pada akhir tahun 2008;
3)
Mempercepat peningkatan angka
melek aksara penduduk usia 15 tahun ke atas melalui pengurangan jumlah penduduk
buta aksara usia 15 tahun ke atas (data BPS 2004, sebanyak 15.414.311 orang
atau 10,21%) menjadi 5% pada akhir tahun 2009.
b.
Sasaran dan Target GNP-PWB/PBA
1.
Gerakan Nasional Percepatan
Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun (GNP-PWB)
a.
Sasaran GNP-PWB adalah:
1)
Anak usia 7-12 tahun yang belum
mengikuti pendidikan atau putus sekolah SD/MI/pendidikan yang setara;
2)
Anak yang telah lulus
SD/MI/pendidikan yang setara, yang belum memperoleh kesempatan belajar, dan
yang putus sekolah di SMP/MTs/pendidikan yang setara.
b. Target GNP-PWB
adalah:
1)
Meningkatnya persentase peserta
didik SD/MI/pendidikan yang setara yang berusia 7-12 tahun terhadap penduduk
usia 7-12 tahun (APM) sekurang-kurangnya menjadi 95% pada akhir Tahun 2008;
2)
Meningkatnya persentase peserta
didik SMP/MTs/pendidikan yang setara terhadap penduduk usia 13-15 tahun (APK)
sekurang-kurangnya menjadi 95% pada akhir Tahun 2008;
3)
Menurunnya angka putus sekolah
SD/MI/pendidikan yang setara setinggi-tingginya menjadi 1% dan SMP/MTs/
pendidikan yang setara setinggi-tingginya menjadi 1%;
4)
Meningkatnya kualitas lulusan
dengan indikator 60% peserta Ujian Sekolah SD mencapai nilai di atas 6.00, 70%
peserta Ujian Nasional SMP mencapai nilai di atas 6,00;
5)
Terlengkapinya sarana dan
prasarana pendidikan sehingga 75% SD/MI dan 75% SMP/MTs memenuhi Standar
Nasional Pendidikan;
6)
Meningkatnya jumlah sekolah
yang memiliki perpustakaan menjadi 30% untuk SD/MI/pendidikan yang sederajat,
dan 80% untuk SMP/MTs/pendidikan yang sederajat;
7)
Meningkatnya jumlah gedung
SD/MI/pendidikan yang sederajat menjadi 100% dalam kondisi baik, dan
SMP/MTs/pendidikan yang sederajat menjadi 99% dalam kondisi baik;
8)
Terbentuknya dan berfungsinya
jaringan sistem informasi pendidikan dengan baik
antarpusat-provinsi-kabupaten/kota;
9)
Empat puluh persen (40%) SD/MI
dan tujuh puluh persen (70%) SMP/MTs menjalankan manajemen berbasis sekolah
(MBS) dengan baik;
10)
Meningkatnya kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam
penyelenggaraan pendidikan.
c. Strategi Pelaksanaan GNP-PWB/PBA
1.
Gerakan Nasional Percepatan
Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun (GNP-PWB)
a. Perluasan dan
pemerataan pendidikan:
1)
memperluas dan meratakan
layanan pendidikan bagi anak usia wajar dikdas termasuk anak-anak dengan
kebutuhan khusus terutama di daerah terpencil, terisolasi, dan tertinggal;
2)
memberikan perhatian khusus
dalam bentuk pembinaan, pemberian bantuan teknis, dan subsidi pada
daerah-daerah yang APM/APK-nya rendah, terutama yang masih di bawah 75%, dan
daerah-daerah yang angka absolutnya (anak tidak sekolah) tinggi;
3)
menyediakan subsidi untuk
kegiatan operasional sekolah dan keperluan siswa agar siswa dapat melanjutkan
dan menamatkan pendidikan di SD/SMP/pendidikan yang sederajat tanpa terkendala
oleh permasalahan ekonomi, geografi, sosial-budaya, daya tampung, dan
lain-lain;
4)
melakukan sosialisasi
percepatan penuntasan Wajar Dikdas melalui berbagai cara kepada berbagai pihak,
terutama masyarakat yang belum menyadari akan pentingnya “pendidikan bagi
semua”;
5) melakukan advokasi dan asistensi kepada pemerintah daerah, terutama
yang perhatian terhadap pembangunan pendidikannya masih tergolong rendah.
b. Peningkatan mutu,
relevansi, dan daya saing pendidikan:
1)
melakukan upaya perbaikan mutu
pendidikan melalui peningkatan prestasi akademik dan non-akademik siswa;
2)
menurunkan angka mengulang
kelas dan angka putus sekolah;
3)
mengembangkan dan
mengimplementasikan model-model pembelajaran yang bersifat aktif,
kreatif/inovatif, efektif, menyenangkan, kontekstual, aktual, konkret, dan
bermakna bagi pengembangan siswa;
4)
melakukan rehabilitasi
sarana/prasarana dan pemenuhan fasilitas pembelajaran agar memadai untuk
menyelenggarakan proses belajar dan mengajar;
5)
meningkatkan kapasitas
(kemampuan), baik guru, kepala sekolah maupun kelembagaan sekolah.
c. Tata kelola, akuntabilitas, dan pencitraan publik:
1)
menerapkan prinsip tata kelola
yang baik (good governance), yaitu partisipatif, transparansi,
akuntabilitas, tanggung jawab, wawasan ke depan, penegakan hukum, keadilan,
demokrasi, prediktif, kepekaan, profesional, efektif dan efisien, serta
kepastian jaminan mutu;
2)
meningkatkan kapasitas aparatur
dan lembaga untuk melaksanakan tugas dan fungsinya;
3)
mengedepankan pengelolaan,
kepemimpinan, organisasi dan administrasi pendidikan yang berpihak pada
pelayanan peserta didik.
d.
Pembiayaan
1. Pembiayaan untuk
pelaksanaan GNP-PWB/PBA bersumber dari:
a.
anggaran pendapatan dan belanja
negara (APBN);
b.
anggaran pendapatan dan belanja
daerah (APBD) provinsi;
c.
anggaran pendapatan dan belanja
daerah (APBD) kabupaten/kota; dan
d.
sumber lain yang tidak
mengikat.
2. Sumber pendanaan tersebut diupayakan dengan proporsi sebagai
berikut:
a.
APBN Pusat; antara 50% – 60%
b.
APBD Provinsi; antara 20% – 30%
c.
APBD Kabupaten/Kota; antara 20%
– 30%.
3. Prosedur tentang
pengajuan dana, pencairan dana, rincian penggunaan dana, dan pertanggungjawaban
dana, mengacu pada peraturan yang berlaku.
Wardiman Djojonegoro, (1992) mengemukakan
alasan-alasan yang melatar belakangi dicanangkannya program pendidikan wajib
belajar 9 tahun bag, semua anak usia 7-15 mulai tahun 1994 adalah:
1.
Sekitar 73,7% angkatan kerja
Indonesia pada tahun 1992 hanya berpendidikan Sekolah Dasar atau lebih rendah,
yaltu mereka tidak tamat Sekolah Dasar, dan tidak pernah sekolah. Jauh
ketinggalan dibandingkan dengan negara-negara lain di ASEAN, seperti Singapura.
2.
Dan sudut pandang kepentingan
ekonomi, pendidikan, dasar 9 tahun merupakan upaya peningkatan kualitas Sumber
Daya Manusia yang dapat member, nilal tambah lebih tinggi terhadap pertumbuhan
ekonomi. Dengan rata-rata pendidikan dasar 9 tahun, ditnungkinkar. bagi mereka
dapat memperluas wawasannya dalam menciptakan kegiatan ekonomi secara lebih
beranekaragam (diversified).
3.
Semakin tinggi tingkat
pendidikan seseorang, maka semakin besar peluang untuk lebih mampu berperan
serta sebagai pelaku ekonomi dalam sektor-sektor ekonomi atau sektor-sektor
industri.
4.
Dari segi kepentingan peserta
didik, peningkatan usia wajib belajar dari 6 tahun menjadi 9 tahun akan
memberikan kematangan yang lebih tinggi dalam penguasaan pengetahuan, kemampuan
dan keterampilan. Dengan meningkatnya penguasaan kemampuan dan keterampilan,
akan memperbesar peluang yang lebih merata untuk meningkatkan martabat,
kesejahteraan, serta makna hidupnya.
5.
Dengan semakin meluasnya
kesempatan belajar 9 tahun, maka usia minimal angkatan kerja produktif dapat
ditingkatkan dari 10 tahun menjadi 15 tahun.
Berdasarkan alasan-alasan yang
melatarbelakangi dicanangkan program-program pendidikan wajib belajar 9 tahun
sebagaimana yang dikemukakan di atas, memberikan gambaran bahwa untuk mencapai
peningkatan kualitas sumber daya manusia, yang dapat memberi nilai tambah pada
diri individu (masyarakat) itu sendiri mengenai penguasaan ilmu engetahuan,
keterampilan, yang dapat mengantar kepertumbuhan ekonomi, peningkatan
produktivitas kerja, martabat, dan kesejahteraan hidupnya, hanya dapat dicapai
lewat penuntasan pelaksanaan pendidikan untuk semua.
2. Strategi
Pelaksanaan Wajib Belajar
Strategi pelaksanaan Wajib Belajar 9 Tahun
di Indonesia, saat ini, dilaksanakan dengan menerapkan beberapa pendekatan,
meliputi: pendekatan budaya, pendekatan sosial, pendekatan agama, pendekatan
birokrasi, pendekatan hukum, serta pendekatan konteks.
a. Pendekatan Budaya
Sosialisasi wajib belajar dilakukan dengan
memanfaatkan budaya yang berkembang di daerah tersebut; misalnya daerah yang
masyarakatnya senang dengan seni, maka pesan-pesan wajib belajar dapat
disisipkan pada gelar seni. Masyarakat yang sangat menghormati adat, maka tokoh
adat dilibatkan dalam pemikiran dan pelaksanaan sosialisasi Wajar Dikdas
sembilan tahun yang bermutu. Sanksi adat biasanya lebih disegani daripada sanksi
hukum.
b. Pendekatan Sosial
Sosialisasi Wajar Dikdas sembilan tahun yang
bermutu perlu memperhatikan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Bila dalam
masyarakat ada tokoh yang disegani dan bisa menjadi panutan, maka tokoh ini
perlu dilibatkan dalam sosialisasi. Tokoh masyarakat ini bisa berasal dari
tokoh formal, maupun tokoh non formal. Pada masyarakat ekonomi lemah,
sosialisasi dilakukan dengan memberikan informasi tentang pelayanan pemerintah
untuk pendidikan, misalnya BOS ataupun beasiswa. Bila anak sibuk membantu kerja
orangtua, anak tidak harus berhenti bekerja, tetapi disampaikan jenis
pendidikan alternatif yang bisa diikuti oleh anak yang bersangkutan, misalnya
SMP Terbuka atau program Paket B.
c. Pendekatan Agama
Pada daerah tertentu ada yang masyarakatnya
sangat agamis dan sangat mentaati ayat-ayat suci. Untuk daerah seperti ini
peran para tokoh agama sangat sesuai. Dengan mengutip ayat-ayat suci, maka
konsep wajib belajar lebih mudah diikuti. Untuk ini motto “belajar adalah
ibadah” yang didasarkan atas kajian yang sangat mendalam oleh para tokoh agama
dapat diangkat menjadi motto dalam sosialisasi Wajar Dikdas sembilan tahun yang
bermutu.
d. Pendekatan Birokrasi
Pendekatan birokrasi ialah upaya
memanfaatkan sistem pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Pembentukan tim koordinasi di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan
kecamatan merupakan salah satu bentuk pendekatan birokrasi. Birokrasi ditempuh
karena dengan pendekatan ini lebih mudah diperoleh berbagai faktor penunjang
baik tenaga, sarana, maupun dana. Namun demikian pendekatan ini akan lebih
berhasil bila digabung dengan pendekatan yang lain.
e. Pendekatan Hukum
Pendekatan hukum ialah pendekatan yang hanya
digunakan untuk daerah yang masyarakatnya memiliki kesadaran terhadap pendidikan
sangat rendah dan tingkat resistensinya tinggi. Program Wajib Belajar Sembilan
Tahun sampai saat ini masih memberlakukan konsep “universal basic education”
dan belum menerapkan konsep “compulsary education”. Artinya, program
wajib belajar baru sebatas himbauan tanpa diikuti sanksi hukum. Namun jika
diperlukan, UU Nomor 20 tahun 2003, memberi kemungkinan kepada pemerintah untuk
menerapkan konsep “compulsary education”, sehingga berkonsekuensi
adanya sanksi hukum bagi yang tidak mau melaksanakan tanggung jawabnya terhadap
program wajib belajar, baik pemerintah, pemerintah daerah, orangtua, maupun
peserta didik.
Untuk mempercepat akselerasi penuntasan
wajib belajar, pada tahun 2006 pemerintah menerbitkan Instruksi Presiden nomor
5 tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar
Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara. Inpres ini
menginstruksikan kepada para Menteri terkait, Kepala BPS, Gubernur, Bupati dan
Walikota untuk memberikan dukungan dan mensukseskan program pemerintah yang
dimaksud.
3. Kondisi
Pencapaian Wajib Belajar 9 Tahun
Indikator yang dipakai pemerintah untuk
mengukur ketercapaian Program Wajib Belajar 9 Tahun adalah pencapaian Angka
Partisipasi Kasar (APK). APK adalah hasil perhitungan jumlah siswa
SMP/sederajat di suatu daerah dibagi jumlah penduduk usia 13 s.d. 15 tahun
dikali 100%. Tingkat ketuntasan daerah dalam melaksanakan program Wajar Dikdas
9 Tahun dikategorikan:
a. Tuntas pratama, bila APK mencapai 80%
s.d. 84%
b. Tuntas madya, bila APK mencapai 85 % s.d.
89%
c. Tuntas utama, bila APK mencapai 90% s.d.
94%
d. Tuntas paripurna, bila APK mencapai
minimal 95%.
1. Pengertian Mutu
Mutu secara etimologis bersinonim dengan
kata ‘kualitas, bobot, derajat, jenis, karat, kadar, kelas, nilai, taraf’. Dengan kata
lain, mutu adalah kondisi (kualitas, bobot, derajat, dst) barang atau jasa yang
dihasilkan dari sebuah proses. Batasan mutu biasanya diserta deskripsi proses
produksi untuk menghasilkan barang atau jasa tersebut.
Pembahasan tentang mutu biasanya tidak
dilepaskan dari tonggak sejarah yang menempatkan mutu sebagai esensi utama yang
harus dipertimbangkan dari sebuah rencana kerja (produksi).
Dalam bidang pendidikan, untuk bisa
menghasilkan mutu, terdapat empat usaha mendasar yang harus dilakukan dalam
suatu lembaga pendidikan, yaitu :
1.
Menciptakan situasi
menang-menang (win-win solution) dan bukan situasi kalah menang
diantara pihak yang berkepentingan dengan lembaga pendidikan (stakeholders).
Dalam hal ini terutama antara pimpinan lembaga dengan staf lembaga harus
terjadi kondisi yang saling menguntungkan satu sama lain dalam meraih mutu
produk/jasa yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan tersebut.
2.
Perlunya ditumbuhkembangkan
motivasi instrinsik pada setiap orang yang terlibat dalam proses meraih mutu.
Setiap orang dalam lembaga pendidikan harus tumbuh motivasi bahwa hasil
kegiatannya mencapai mutu tertentu yang meningkat terus menerus, terutama
sesuai dengan kebutuhan dan harapan pengguna/langganan.
3.
Setiap pimpinan harus
berorientasi pada proses dan hasil jangka panjang. Penerapan manajemen mutu
terpadu dalam pendidikan bukanlah suatu proses perubahan jangka pendek, tetapi
usaha jangka panjang yang konsisten.
4.
Dalam menggerakkan segala
kemampuan lembaga pendidikan untuk mencapai mutu yang ditetapkan, harus
dikembangkan adanya kerjasama antar unsur-unsur pelaku proses mencapai hasil
mutu. Janganlah diantara mereka terjadi persaingan yang mengganggu proses
mencapai hasil mutu tersebut. Mereka adalah satu kesatuan yang harus
bekerjasama dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain untuk menghasilkan mutu
sesuai yang diharapkan.
Dalam kerangka manajemen pengembangan mutu
terpadu, usaha pendidikan tidak lain adalah merupakan usaha jasa yang
memberikan pelayanan kepada pelangggannya, yaitu mereka yang belajar dalam
lembaga pendidikan tersebut.
Pelanggan layanan pendidikan terdiri dari
berbagai unsur paling tidak empat kelompok. Mereka itu adalah pertama
yang belajar, bisa mahasiswa/ pelajar/murid/peserta belajar yang biasa disebut
klien/pelanggan primer (primary external customers). Mereka inilah
yang langsung menerima manfaat layanan pendidikan dari lembaga tersebut. Kedua,
para klien terkait dengan orang yang mengirimnya ke lembaga pendidikan, yaitu
orang tua atau lembaga tempat klien tersebut bekerja, dan mereka ini kita sebut
sebagai pelanggan sekunder (secondary external customers). Pelanggan
lainnya yang ketiga bersifat tersier adalah lapangan kerja bisa
pemerintah maupun masyarakat pengguna output pendidikan (tertiary external
customers). Selain itu, yang keempat, dalam hubungan kelembagaan
masih terdapat pelanggan lainnya yaitu yang berasal dari intern lembaga; mereka
itu adalah para guru/dosen/tutor dan tenaga administrasi lembaga pendidikan,
serta pimpinan lembaga pendidikan (internal customers). Walaupun para
guru/dosen/tutor dan tenaga administrasi, serta pimpinan lembaga pendidikan
tersebut terlibat dalam proses pelayanan jasa, tetapi mereka termasuk juga
pelanggan jika dilihat dari hubungan manajemen. Mereka berkepentingan dengan
lembaga tersebut untuk maju, karena semakin maju dan berkualitas lem-baga
pendidikan mereka akan diuntungkan, baik kebanggaan maupun finansial.
Seperti disebut diatas bahwa program
peningkatan mutu harus berorientasi kepada kebutuhan/harapan pelanggan, maka
layanan pendidikan suatu lembaga haruslah memperhatikan masing-masing pelanggan
diatas. Kepuasan dan kebanggaan dari mereka sebagai penerima manfaat layanan
pendidikan harus menjadi acuan bagi program peningkatan mutu layanan
pendidikan.
Potensi perkembangan, dan keaktifan murid
tentu saja merupakan yang paling utama dalam peningkatan mutu pendidikan.
Perkembangan fisik yang baik, baik jasmani maupun otak, menentukan kemajuannya.
Demikian pula dengan lainnya, misalnya bakat, perkembangan mental, emosional,
pibadi, sosial, sikap mental, nilai-nilai, minat, pengertian, umur, dan
kesehatan; kesemuanya akan mempengaruhi hasil belajar dan mutu seseorang. Untuk
itu, maka perhatian terhadap paserta didik menjadi sangat penting.
Mutu
pendidikan dapat dilihat dari beberapa indikator. Pada makalah ini, mutu
pendidikan akan dibahas dari beberapa sudut pandang dan indikator, meliputi
kurikulum, sumberdaya manusia (pendidik dan tenaga kependidikan), dan prestasi
hasil pendidikan (hasil UN).
2. Mutu Kurikulum dan Proses Pembelajaran
Dalam UU No. 2 Tahun 1989, materi yang
disajikan menurut kurikulum pendidikan dasar (sekolah dasar dan sekolah
menengah pertama) terdiri atas mata pelajaran:
a.
Pendidikan Pancasila.
b.
Pendidikan agama.
c.
Pendidikan kewarganegaraan.
d.
Bahasa Indonesia.
e.
Membaca dan menulis.
f.
Matematika,termasuk berhitung.
g.
Pengantar sains dan teknologi.
h.
Ilmu bumi.
i.
Sejarah nasional dan sejarah
umum.
Sedangkan menurut UU No. 20 Tahun 2003:
a.
Pendidikan agama.
b.
Pendidikan kewarganegaraan.
c.
Bahasa.
d.
Matematika.
e.
Ilmu pengetahuan alam.
f.
Ilmu pengetahuan sosial.
g.
Seni, budaya, dan olahraga;
serta
h.
Keterampilan, kesenian, dan
muatan lokal.
i.
Kerajinan tangan dan kesenian.
j.
Pendidikan jasmani dan
kesehatan.
k.
Menggambar.
l.
Bahasa Inggris.
Kedua ketentuan dalam UU No. 2 tentang
Sisdiknas dan RUU Sisdiknas (2003) tampaknya berbeda, tetapi hakikatnya yang
perlu dipertanyakan adalah mengapa mata pelajaran tersebut yang disajikan.
Misalnya dalam UU Sisdiknas tahun 2003, mata pelajaran seni, budaya, dan
olahraga dikelompokkan dalam satu gugus. Apa bedanya dengan dipisahkannya
menggambar dan kesenian pada UU No. 2 Tahun 1989. Demikian pula dengan IPS.
Dalam UU Sisdiknas Tahun 2003 dengan ilmu bumi, sejarah pada UU No. 2 Th. 1989.
Pertanyaannya adalah apakah benar mata pelajaran tersebut menunjang tercapainya
fungsi dan tujuan pendidikan nasional.
Kurikulum
pendidikan dasar memuat enam wilayah yang bermakna dalam menjadikan peserta
didik memahami makna dunia di mana mereka hidup dan mengembangkan diri. Keenam
ranah makna tersebut yaitu: symbolics, empirics, synnoetics, aesthetics,
ethics, dan synoptics (realms of meaning).
a.
Wilayah pertama symbolics,
biasanya terdiri atas mata pelajaran bahasa, matematika, dan mata pelajaran
lain yang memuat/mempelajari simbol-simbol arbitrer. Kelompok mata pelajaran
ini bermanfaat bagi peserta didik untuk mengekspresikan dan mengkomunikasikan
diri.
b.
Wilayah kedua empirics,
berisi mata pelajaran ilmu fisika alam, ilmu hayat (tentang kehidupan), dan
ilmu yang mempelajari fisik manusia. Ilmu ini menyediakan deskripsi
faktual, generalisasi, formula dan penjelasan teoretis yang dilandaskan pada
observasi dan eksperimen.
c.
Wilayah ketiga esthetics, berisi mata pelajaran seni misalnya seni musik, seni
visual, seni gerak dan seni sastra.
d.
Wilayah keempat synnoetics, berisi
mata pelajaran yang membekali peserta didik memiliki saling memahami sesama dan
memiliki kepekaan sosial.
e.
Wilayah kelima ethics,
berisi mata pelajaran yang membekali peserta didik etika dan budi pekerti.
f.
Wilayah keenam, Synoptics,
mengacu pada mata pelajaran yang bersifat pemahaman integratif untuk membekali
peserta didik menjadi manusia madani. Termasuk dalam kelompok ini adalah
sejarah, agama, dan filsafat.
Kandungan pengetahuan yang terdapat di dalam
setiap wilayah dan sub-wilayah demikian luas. Karena itu pendidikan perlu
memilih yang esensial, mengutamakan pemilihan mata pelajaran agar para pelajar
dapat mempelajari sesuatu sampai tingkat memahami makna yang dipelajari bagi kehidupannya.
Kurikulum yang diterapkan pada program Wajar
Dikdas 9 Tahun masih jauh dari harapan terciptanya sistem pendidikan yang
memungkinkan peserta didik mengalami “joy of discovery” dalam proses
belajarnya. Diterapkannya KTSP sebagai produk UU No. 20 tahun 2003 belum
membuat kondisi mutu pendidikan meningkat.
Untuk mendorong pendidikan, khususnya di
negara berkembang, berlangsung efektif, Unesco melalui International Commision
on Education for The Twenty First Century, mengusulkan empat pilar
belajar, yaitu Learning to know, learning to do, learning to live together,
dan learning to be. Jika empat pilar tersebut dapat diterapkan
secara paripurna, dapat diartikan proses pembelajaran memungkinkan peserta
didik menguasai cara memperoleh pengetahuan, berkesempatan menerapkan
pengetahuan yang dipelajarinya, dan berkesempatan berinteraksi secara aktif
dengan sesama peserta didik sehingga dapat menemukan dirinya. Model
pembelajaran seperti ini hanya dapat berlangsung dengan tenaga guru yang penuh
konsentrasi, peralatan yang memadai, materi yang terpilih, dan waktu yang cukup
tanpa harus mengejar target ujian nasional.
Kita bisa melihat, betapa tingginya tuntutan
terhadap peran yang diharapkan dari pendidikan dalam membentuk karakter dan
mental generasi muda agar dapat melakukan transformasi budaya. Suatu tuntutan
yang pada hakikatnya telah digariskan oleh para pendiri Republik Indonesia,
yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional.
Pada sisi lain, kondisi mutu guru di
Indonesia juga masih belum ideal. Secara nasional jumlah guru dari TK
sampai dengan SMA berjumlah 2.245.952 orang. Dari jumlah tersebut, guru yang
memenuhi syarat menurut UU No. 20/2003, artinya yang telah memiliki kualifikasi
pendidikan S1 atau lebih, baru berjumlah 37,3% (837.460 orang). Sedangkan guru
yang “belum layak”, atau memiliki pendidikan di bawah S1/D4 jumlahnya masih
berjumlah 1.408.492 orang.
3. Mutu Hasil Ujian Nasional
Peningkatan
mutu pendidikan Program Wajib Belajar Sembilan Tahun dapat dilihat dari beberapa
indikator. Salah satu indikator esensial adalah prestasi hasil belajar peserta
didik. Walaupun masih menjadi bahan perdebatan panjang, hasil Ujian Nasional
(UN) diyakini masih bisa menjadi bukti empiris prestasi belajar peserta didik
yang secara nasional diakui memiliki validitas dan reliabilitas tinggi.
Direktur Pembinaan SMP menyatakan “Peningkatan mutu pendidikan di SMP, dan mutu
Wajar Dikdas, dapat dilihat dari tingginya nilai rerata UN, kecenderungan
kenaikan nilai rerata UN, dan tingginya tingkat kelulusan peserta didik”.
Ujian
Nasional untuk SMP telah diselenggarakan setiap tahun sejak tahun ajaran 2002/
2003 sampai saat ini. Pada awalnya, terdapat tiga mata pelajaran pada SMP yang
diujikan dalam UN, yaitu mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan
Matematika. Mulai tahun ajaran 2007/2008, mata pelajaran yang diujikan dalam UN
menjadi empat mata pelajaran, yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris,
Matematika, dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA).
Hasil UN
untuk SMP, baik untuk setiap sekolah, kab/kota, dan provinsi, serta secara
nasional telah dianalisis secara kuantitatif dan didokumentasikan secara resmi
oleh Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik), Badan Penelitian dan Pengembangan,
Departemen Pendidikan Nasional. Hasil UN tersebut kemudian dianalisis lebih
lanjut oleh Direktorat Pembinaan SMP agar dapat diinterpretasi dan dimaknai
secara tepat sehingga menghasilkan informasi yang akurat Informasi tersebut
kemudian dijadikan sebagai dasar pertimbangan untuk kepentingan pengambilan
kebijakan yang terkait dengan upaya peningkatan mutu pendidikan, terutama pada
jenjang SMP.
Analisis
terhadap data hasil UN dilakukan dalam beberapa tahap. Pertama, dilakukan
rekapitulasi data rerata nilai UN dan persentase kelulusan secara nasional,
provinsi, dan kabupaten/kota. Hal ini untuk melihat gambaran mutu pendidikan
secara umum. Kedua, berdasarkan nilai rerata UN sekolah, dilakukan
pengelompokan kategori atau level mutu sekolah untuk melihat secara rinci
kondisi mutu di tingkat sekolah.
No
|
Kategori/Level
|
Sekolah
dengan Nilai UN
|
1.
|
Sangat
Baik (A)
|
Jumlah
nilai UN ≥ 22,5 atau
Rerata UN ≥ 7,5.
|
2.
|
Baik
(B)
|
Jumlah
nilai UN antara 22,49 s.d 19,5 atau Rerata UN 7,49 s.d 6,5.
|
3.
|
Cukup
(C)
|
Jumlah
nilai UN antara 19,45 s.d 16,5 atau Rerata UN 6,49 s.d 5,5.
|
4.
|
Kurang
(D)
|
Jumlah
nilai UN antara 16,49 s.d 13,5 atau Rerata UN 5,49 s.d 4,5.
|
5.
|
Sangat
Kurang (E)
|
Jumlah
nilai UN ≤ 13,49 atau
Rerata UN ≤ 4,49.
|
Pengelompokan
kategori atau level sekolah berdasarkan nilai UN digunakan sebagai dasar dalam
pemetaan sasaran program peningkatan mutu. Sekolah-sekolah yang masuk dalam
level Sangat Baik (A) diprioritaskan untuk mendapatkan program peningkatan mutu
Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), dan Sekolah Standar Nasional
(SSN). Sekolah sekolah pada level Baik (B) termasuk kategori Sekolah Potensial
diprioritaskan mendapatkan program peningkatan mutu untuk menuju SSN.
Sekolah-sekolah dengan level Cukup (C), Kurang (D), dan Sangat Kurang (E) masuk
dalam kategori Sekolah Rintisan. Sekolah-sekolah dalam kategori Rintisan
tersebut akan mendapat berbagai program untuk pembenahan dan peningkatan mutu
dalam berbagai aspek penyelenggaraan pendidikan di sekolah.
Berdasarkan
data hasil UN dari Puspendik, disusun tabulasi mengenai perbandingan rerata
nilai UN dan pesrsentase peserta didik SMP sejak tahun 2004/2005 sampai dengan
2007/2008 seperti terlihat pada tabel di bawah ini:
No
|
Tahun Ajaran
|
Rerata Nilai UN
|
Peserta UN
|
Kelulusan Peserta
|
|||||
BIN
|
ING
|
MAT
|
IPA
|
Rerata
|
Jumlah
|
%
|
|||
1.
|
2004/2005
|
6,64
|
6,15
|
6,57
|
-
|
6,45
|
2,363,816
|
2,057,123
|
87,03
|
2.
|
2005/2006
|
7,46
|
6,62
|
7,13
|
-
|
7,07
|
2,387,807
|
2,205,303
|
92,36
|
3.
|
2006/2007
|
7,39
|
6,72
|
6,96
|
-
|
7,02
|
2,485,766
|
2,332,728
|
93,84
|
4.
|
2007/2008
|
7,00
|
6,80
|
6,68
|
7,00
|
6,87
|
2,518,561
|
2,337,935
|
92,83
|
Berdasarkan
tabel di atas terlihat bahwa rerata UN 2005/2006 mengalami peningkatan 0,62,
dari 6,45 pada tahun 2004/2005 menjadi 7,07. Namun demikian, rerata UN ini
mengalami sedikit penurunan pada tahun 2006/2007 sebesar 0,05. Demikian juga
pada tahun ajaran 2007/2008 nilai rerata UN juga mengalami penurunan sebesar
0,15. Penurunan rerata UN secara nasional terutama pada tahun 2007/2008 perlu
mendapat perhatian yang serius, baik dari Direktorat Pembinaan SMP maupun
seluruh Dinas Pendidikan Provinsi dan Kab./Kota.
Persentase
kelulusan peserta didik SMP sejak tahun 2004/2005 sampai dengan 2006/2007
mengalami kenaikan yang cukup besar. Tingkat kenaikan persentase kelulusan dari
tahun ke tahun adalah dari tahun 2004/2005 ke 2005/2006 sebesar 5,33%; dan dari
tahun 2005/2006 ke tahun 2006/2007 sebesar 1,48%. Hal ini mengindikasikan makin
meratanya mutu lulusan dan makin sedikitnya jumlah peserta didik yang tidak
lulus. Meskipun demikian, pada tahun ajaran 2007/2008 terdapat penurunan
persentase kelulusan sebesar 1,01%
No
|
Kategori
|
Jumlah Sekolah pada Tahun Ajaran
|
|||
2004/2005
|
2005/2006
|
2006/2007
|
2007/2008
|
||
1.
|
Sangat
Baik (A)
|
2.042
|
5.098
|
5.240
|
4687
|
2.
|
Baik
(B)
|
6.401
|
9.478
|
9.778
|
9829
|
3.
|
Cukup
(C)
|
8754
|
6332
|
6197
|
7104
|
4.
|
Kurang
(D)
|
4028
|
1362
|
1733
|
2054
|
5,
|
Sangat
Kurang (E)
|
675
|
183
|
254
|
619
|
Berdasarkan
tabel di atas terlihat bahwa jumlah sekolah yang masuk kategori Sangat
Baik mulai dari tahun 2004/2005 sampai dengan 2006/2007 cenderung naik
secara berarti. Demikian pula jumlah sekolah kategori Baik juga
cenderung naik. Dari kondisi tersebut dapat ditegaskan bahwa mulai tahun
2004/2005 sampai dengan 2006/2007, upaya peningkatan mutu sekolah telah
berhasil dengan baik .
Jumlah sekolah
kategori Cukup pada tahun 2004/2005 sampai dengan 2006/2007
cenderung turun. Hal inii disebabkan adanya cukup banyak sekolah yang pada
awalnya berkategori Cukup mengalami kenaikan kategori menjadi Baik,
dan bahkan Sangat Baik. “Hal ini merupakan indikasi keberhasilan
program peningkatan mutu pada periode tersebut”.
Pada tahun
ajaran 2004/2005 sampai 2005/2006, jumlah sekolah kategori Kurang
dan Sangat Kurang mengalami penurunan yang berarti. Hal ini juga
merupakan indikasi keberhasilan program peningkatan mutu pada periode tersebut.
Namun demikian, pada tahun 2006/2007 dan 2007/2008 terjadi peningkatan jumlah
sekolah berkategori Kurang dan Sangat Kurang.
Sebaliknya, terjadi penurunan jumlah sekolah kategori Sangat Baik
. Ini berarti terdapat sejumlah sekolah yang mengalami penurunan kategori atau
terjadi penurunan mutu sekolah.
Jika dilihat dari tingkat provinsi, terlihat
deviasi nilai dari daerah-daerah yang maju dengan tingkat kesejahteraan baik
mendapatkan nilaiUN cenderung tinggi. Sebaliknya, provinsi yang “miskin” nilai
rerata hasil UN siswa SMP relatif lebih rendah. Dari tabel data di atas, nilai
rerata UN SMP provinsi Bali pada tiga tahun terakhir merupakan yang terbaik,
menduduki ranking pertama. Nilai rerata UN Provinsi Bali tiga berturut-turut adalah
tahun 2005/2006 = 7,61; tahun 2006/2007 = 7,82; dan tahun 2007/2008 = 7,85. Di
samping nilai reratanya terbaik, juga tiap tahunnya cenderung naik. Bahkan,
pada tahun 2007/2008 terjadi kenaikan rerata UN, meskipun secara nasional
terjadi penurunan nilai UN karena ditengarai soal UN tahun 2007/2008 lebih
sulit dari tahun-tahun sebelumnya. Hal ini sangat menggembirakan, dan patut
menjadi teladan bagi provinsi-provinsi lain di Indonesia.
Nilai rerata UN SNIP Provinsi Nusa Tenggara
Timur (NTT) termasuk terendah, dan patut mendapat perhatian serius. Nilai
rerata UN tiga tahun terakhir Provinsi NTT adalah tahun 2005/2006 = 5,80; tahun
2006/2007 = 5,43; dan tahun 2007/2008 = 5,00. Nilai tersebut jauh di bawah
nilai rerata UN secara nasional. Di samping itu, selama tiga tahun terakhir
nilai tersebut cenderung turun secara berarti. Selain NTT, terdapat tiga
provinsi lain yang nilai rerata UN-nya termasuk rendah, yaitu di bawah 6,00.
Ketiga provinsi tersebut adalah Kalimantan Barat, Bangka Belitung, dan Sulawesi
Barat.
Beberapa faktor yang ditengarai sebagai
penyebab rendahnya nilai rerata UN Provinsi NTT antara lain: tingkat sosial
ekonomi masyarakat yang sebagian besar tergolong menengah ke bawah, kondisi
geografis daerah yang kurang subur dan kekeringan, belum optimalnya kesadaran
masyarakat tentang pentingnya pendidikan, dan sistem pengelolaan pendidikan
yang masih perlu dibenahi. Para siswa belum dapat fokus dan berkonsentrasi
untuk belajar karena harus membantu orang tua mengatasi kesulitan hidup
sehari-harinya. Untuk membenahi dan meningkatkan mutu pendidikan di Provinsi
NTT diperlukan pengkajian yang sistematis dan upaya serta alokasi sumber daya
yang memadai. Penyebab rendahnya nilai rerata UN ketiga provinsi lainnya pada
dasarnya hampir sama. Faktor belum optimalnya kesadaran masyarakat tentang
pentingnya pendidikan, kemiskinan, dan sistem pengelolaan pendidikan ditengarai
lebih dominan pada ketiga provinsi tersebut.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Wajib belajar merupakan salah satu
program yang gencar digalakkan oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Program ini
mewajibkan setiap warga negara Indonesia untuk
bersekolah selama 9 (sembilan) tahun pada jenjang pendidikan dasar, yaitu
dari tingkat kelas 1 Sekolah Dasar (SD) atau Madrasah Ibtidaiyah (MI) hingga kelas 9 Sekolah
Menengah Pertama (SMP)
atau Madrasah
Tsanawiyah (MTs).
Landasan pokok keberadaan sistem pendidikan
nasional adalah UUD 45 Bab XIII, Pasal 31, ayat (1). Selain itu Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Instruksi Presiden
Nomor 1 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar.
Program Wajib Belajar 9 Tahun akhir tahun
ini ditargetkan tuntas dengan indikator pencapaian APK SMP secara nasional
minimal 95%. Data yang ada memperlihatkan bahwa APK SMP pada akhir tahun
2007 telah mencapai angka 92,52%. Artinya, ditilik dari perluasan akses
pendidikan, program Wajib Belajar Sembilan Tahun sampai sejauh ini dinyatakan
sukses.
Namun demikian, keberhasilan perluasan dan
pemerataan akses pendidikan tidak seiring dengan dengan keberhasilan meningkatkan
mutu pendidikan. Kurikulum dan materi pelajaran yang disajikan pada jenjang
pendidikan dasar masih belum mampu membuat peserta didik mengalami “joy of
discovery” dalam proses belajarnya. Organisasi kurikulum belum
mengarah pada proses pembelajaran yang membuat siswa learning to know,
learning to do, learning to live together, dan learning to be.
Jika empat pilar tersebut dapat diterapkan secara paripurna, dapat diartikan
proses pembelajaran memungkinkan peserta didik menguasai cara memperoleh pengetahuan,
berkesempatan menerapkan pengetahuan yang dipelajarinya, dan berkesempatan
berinteraksi secara aktif dengan sesama peserta didik sehingga dapat menemukan
dirinya.
Pada sisi lain, kondisi mutu guru di
Indonesia juga masih belum ideal. Secara nasional jumlah guru dari TK
sampai dengan SMA berjumlah 2.245.952 orang. Dari jumlah tersebut, guru yang
memenuhi syarat menurut UU No. 20/2003, artinya yang telah memiliki kualifikasi
pendidikan S1 atau lebih, baru berjumlah 37,3% (837.460 orang). Sedangkan guru
yang “belum layak”, atau memiliki pendidikan di bawah S1/D4 jumlahnya
masih 1.408.492 orang
Sementara itu, mutu hasil pendidikan yang
diukur melalui Ujian Nasional, memperlihatkan deviasi pencapaian rerata nilai
yang cukup jauh. Anak-anak dari daerah yang maju dengan tingkat
kesejahteraan baik, rata-rata mampu mendapatkan nilai UN cenderung tinggi.
Sebaliknya, provinsi yang “miskin” nilai rerata hasil UN siswa SMP relatif
lebih rendah. Dengan demikian, jika nilai hasil UN digunakan sebagai standar mutu
pendidikan sebenarnya kurang tepat. Hal ini disebabkan faktor-faktor yang
mempengaruhi pendidikan masing-masing daerah, misalnya: tingkat sosial ekonomi
masyarakat, kondisi geografis, kesadaran masyarakat tentang pentingnya
pendidikan, dan sistem pengelolaan pendidikan, sangat bervariasi.
B. Saran
Dalam mencapai program wajib belajar
9 tahun dibutuhkan perhatian dari semua pihak, baik dari pemerintah, sekolah,
orang tua dan masyarakat. Baiklah pemerintah memberikan perhatian yang lebih
kepada dunia pendidikan demi peningkatan mutu pendidikan Indonesia, dan semoga
masyarakat dan orang tua juga dapt menyadari bahwa pendidikan itu penting
sehingga memperbolehkan anak-anak untuk ikut sekolah dan menuntut ilmu demi
masa depan yang lebih baik dan guru juga harus meningkatkan mutu pengajarannya
agar dapat meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia juga dan dapat
memfasilitasi anak didik dengan baik. Selain dari orang tua motivasi dari
dalam diri anak juga perlu ada karena jika motivasi anak sudah timbul dalam diri
anak maka anak akan semangat untuk sekolah dan belajar serta menuntut ilmu di
sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
David Atchoarena dan Francoise Caillods. 1998. Pendidikan
Untuk Abad XXI UNESCO: Unesco Publishing.
Direktorat Pembinaan SMP.
2008. Panduan Pelaksanaan Sosialisasi Wajib Belajar
9 Tahun yang Bermutu. Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional.
Direktorat Pembinaan SMP.
2008. Analisis
Perkembangan Nilai Ujian Nasional TA 2004/2005 Sampai Dengan 2007/2008. Jakarta: Depdiknas.
Ditjen PMPTK. 2007.
Rencana Pembangunan Tenaga Kependidikan. Jakarta: Depdiknas.
Jerome S. Arcaro. 2008. Pendidikan
Berbasis Mutu. Jakarta: Rineka Cipta.
M, May. 1998. Pekerja Anak
dan Perencanaan. Aus:AID.
Prayitno. 2000. Hak dan Kewajiban
Pendidikan Anak. Padang: Jurusan BK FI P UNP.
Soedijarto. 2008. Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita. Jakarta: PT Kompas Media
Nusantara.