الثلاثاء، 19 فبراير 2013

PERMASALAHAN MUTU DALAM WAJIB BELAJAR PENDIDIKAN DASAR 9 TAHUN


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan/atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, dan ayat (3) menegaskan bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang. Untuk itu, seluruh komponen bangsa wajib mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan salah satu tujuan negara Indonesia.
Pendidikan nasional mempunyai visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.
Sedangkan misi pendidikan nasional adalah mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia serta membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar; meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral. Untuk mewujudkan misi tersebut perlu dilakukan langkah dan strategi diantaranya adalah pelaksanaan program wajib belajar.
Pendidikan merupakan tiang pucang kebudayaan dan fondasi utama untuk membangun peradaban sebuah bangsa. Arti penting kesadaran pendidikan menentukan kualitas kesejahteraan sosial lahir batin masa depan. Pendidikan memiliki peranan strategis menyiapkan generasi berkualitas untuk kepentingan masa depan. Pendidikan sebagai salah satu kunci penting dalam proses perkembangan untuk   memajukan suatu bangsa dapat dikatakan demikian manakala tingkat pendidikan suatu negara dikatakan tinggi, setidaknya peradaban dan pola pikir masyarakat di Negara tersebut haruslah tinggi pula.
            Dirasakan atau tidak, pendidikan merupakan faktor penting dalam memartabatkan negara maupun meningkatkan kemajuan secara majemuk sebuah negara. Tanpa pendidikan, kemajuan sebuah bangsa akan semakin pudar tergerus oleh maraknya perkembangan zaman yang menuntut pemahaman keilmuan yang satu-satunya jalan adalah dengan meningkatkan taraf pendidikan tersebut.
            Rendahnya tingkat dan kesadaran akan pentingnya pendidikan di Indonesia merupakan pekerjaan rumah yang tidak mudah bagi pemerintah guna memajukan peradaban dan tingkat kehidupan yang lebih baik dan mandiri. Rendahnya tingkat pendidikan di Indonesia mendorong timbulnya berbagai permasalahan sosial yang kian hari semakin meresahkan bangsa Indonesia. Salah satu faktor yang dapat menjadi tolak ukur rendahnya tingkat pendidikan di Indonesia adalah tingginya angka putus sekolah anak usia produktif (usia sekolah). Selain tingginya angka putus sekolah,  rendahnya minat anak bahkan orang tua untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dirasakan masih sangat kurang. Adapun satu hal pokok di atas dapat menjadi satu alasan betapa rendahnya tingkat pendidikan di Indonesia yang memang bila ditelaah lebih mendalam bukan hanya pemerintah saja yang perlu berpikir jauh, namun masyarakat dan tentunya para orang tua harus memahami benar betapa pentingnya pendidikan untuk bekal hidup maupun sebagai anggota dalam sistem tatanan masyarakat yang berbangsa dan bernegara.
Kelangsungan hidup bangsa  kedepan berada ditangan anak-anak dimasa sekarang. Jika menginginkan kesenangan dimasa yang akan datang maka anak juga memperoleh haknya dimasa sekarang. Misalnya tempat bermain, pendidikan, jaminan kesehatan, dan lain sebagainya. Sebagai perwujudan rasa tanggung jawab terhadap kelangsungan hidup bangsa. Anak merupakan bagian dari generasi muda, penerus cita-cita, dan perjuangan bangsa. Disamping itu, anak merupakan sumber daya manusia yang perlu mendapatkan perhatian dan perlindungan dari berbagai ancaman dan gangguan agar supaya hak-haknya tidak terabaikan.
Pada kenyataan dimasyarakat tidak semua kebutuhan untuk anak terpenuhi. Salah satunya dibidang  pendidikan. Didalam pendidikan Terdapat banyak anak putus sekolah (formal). Keadaan lingkungan yang kurang mendukung, ekonomi, geografi, sosial ekonomi  menjadi faktor penyebab anak putus sekolah. Putus sekolah bukan merupakan salah satu permasalahan pendidikan yang tak pernah berakhir. Masalah ini telah berakar dan sulit untuk dipecahkan.
Data Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Departemen Pendidikan Nasional menunjukkan jumlah anak putus sekolah di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2006 jumlahnya 899.786  anak. Setahun kemudian bertambah sekitar 20 % menjadi 899.986 anak. dari jumlah penduduk kelompok sekolah yang bersekolah 55,318,077 anak.
Para founding fathers sadar sepenuhnya bahwa untuk membebaskan bangsa Indonesia dari kungkungan kebodohan dan kemiskinan, jalan satu-satunya adalah dengan pendidikan. Kesadaran tersebut dituangkan dalam rumusan Pembukaan UUD 1945 yang menegaskan bahwa salah satu tujuan pembangunan nasional adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Selanjutnya, pada batang tubuh, pasal 31 UUD 1945 lebih tegas lagi menyatakan”(1) setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”, dan ” (2) setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Pada masa reformasi, dengan memperhatikan kondisi global, percepatan akselerasi pembangunan pendidikan menjadi prioritas utama pembangunan. Untuk mendasarinya, Undang-Undang Dasar 1945 di amandemen dan pasal 31 UUD 1945 ditambah ayatnya menjadi
(1)      Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan;
(2)      Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya;
(3)      Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan Undang-Undang
(4)      Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
(5)      Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Secara universal, pengakuan bahwa pendidikan merupakan hak setiap umat manusia termuat dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yang pada pasal 26 ayat 1 berbunyi “Setiap orang berhak memperoleh pendidikan. Pendidikan harus dengan cuma-cuma, setidak-tidaknya untuk tingkatan sekolah rendah dan pendidikan dasar. Pendidikan rendah harus diwajibkan. Pendidikan teknik dan kejuruan secara umum harus terbuka bagi semua orang dan pendidikan tinggi harus dapat dimasuki dengan cara yang sama, berdasarkan kepantasan.” Kutipan tersebut memperlihatkan bagaimana sistem pendidikan yang ideal, yang menggambarkan suatu bentuk sistem persekolahan disertai sistem pendidikan luar sekolah, dengan tahapan yang linier.
Selanjutnya, tonggak penting pembangunan pendidikan setelah kemerdekaan adalah disahkannya Undang-Undang No. 4 Tahun 1950 jo Undang-Undang no. 12 Tahun 1954.[2] Undang-undang ini merupakan dasar hukum Sistem Pendidikan Nasional yang pertama diundangkan. Dalam perkembangan kehidupan bangsa, Sistem Pendidikan Nasional diatur dengan undang-undang yang sudah dua kali berubah, yaitu UU No. 2 Tahun 1989 maupun UU No. 20 Tahun 2003.
Dalam semua Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang pernah berlaku di Indonesia tersebut, dinyatakan bahwa pendidikan nasional merupakan alat dan sekaligus tujuan yang sangat penting dalam perjuangan mencapai cita-cita dan tujuan nasional. Hal ini, terutama jika dikaitkan de­ngan peran dan fungsi pendidikan nasional dalam pelak­sanaan pembangunan bangsa. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dengan perkataan lain, pendidikan nasional berfungsi sebagai alat utama un­tuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mu­tu kehidupan dan martabat bangsa.
Peran pendidikan dalam peningkatan produktivitas na­sional yang ditunjukkan oleh data-data estimasi di atas sangat berterima dan beralasan. Hal ini terutama jika ditin­jau dari keberadaan pendidikan yang pada hakikatnya merupakan indirect invesment bagi proses produksi dan direct ivesment bagi peningkatan kualitas sumber daya ma­nusia (human quality). Pendidikan akan meningkatkan dan/atau mempertinggi kualitas tenaga kerja, sehingga memungkinkan tersedianya angkatan kerja yang lebih trampil, handal, dan sesuai dengan tuntutan pembangunan nasional.
Karena itu, hampir semua bangsa menempatkan pembangunan pendidikan sebagai prioritas utama dalam program pembangunan nasional mereka. Sumber daya manusia yang bermutu, yang merupakan produk pendidikan, merupakan kunci keberhasilan pembangunan suatu negara.
Menyadari hal tersebut, Pemerintah Republik Indonesia secara terstruktur melaksanakan Program Wajib Belajar. Program dimulai dengan Wajib Belajar 6 Tahun yang secara resmi dicanangkan pada tahun 1984 dan dilanjutkan dengan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun yang dimulai pada tahun 1994. Program ini menargetkan pada tahun 2008 semua warga negara Indonesia memiliki pendidikan minimal setara Sekolah Menengah Pertama dengan mutu yang baik. Dengan bekal itu, diharapkan seluruh warga negara Indonesia dapat mengembangkan dirinya lebih lanjut sehingga mampu memilih dan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan potensi yang dimiliki, sekaligus berperan serta dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Menjelang terminal akhir tuntasnya Wajib Belajar 9 Tahun, fokus pembangunan pendidikan yang dilaksanakan pemerintah mulai bergeser pada pilar peningkatan mutu dan relevansi pendidikan. Pada jenjang pendidikan dasar, mulai tahun ini (2008) pemerintah mulai mengurangi program perluasan dan pemerataan akses dan menambah anggaran untuk meningkatkan mutu pendidikan. Hal ini dilakukan karena terjadi kesenjangan yang merisaukan antara upaya perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan. Realita di masyarakat saat ini, walaupun kesempatan memperoleh pendidikan pada tingkat SD sudah di atas 96% dan SMP sudah di atas 92%, namun ternyata kehidupan bangsa yang cerdas masih jauh dari terwujud. Oleh karena itulah makalah ini disusun untuk membahas mengenai mutu dalam wajib belajar 9 tahun, apakah mutu pendidkannya sudah baik atau tidak, dan bagaimana sebenarnya keadaan mutu pendidikan dalam wajib belajar 9 tahun tersebut.
BRumusan Masalah
Adapun masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana mutu kurikulum, proses belajar mengajar, dan tenaga kependidikan Program Wajib Belajar Sembilan Tahun ?
2.      Bagaimana mutu hasil belajar program Wajib Belajar Sembilan Tahun?

C. Tujuan Penulisan
            Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk menjelaskan bagaimana mutu kurikulum, proses belajar mengajar, dan tenaga kependidikan  Program Wajib Belajar Sembilan Tahun.
2.      Untuk menjelaskan mutu hasil belajar program Wajib Belajar Sembilan Tahun.

D. Manfaat Penulisan
1.    Bagi guru, mengetahui keadaan mutu pendidikan program wajib belajar sembilan tahun, mengetahui bagaimana gambaran mutu tenaga kependidikan program wajib belajar sembilan tahun.
2.    Bagi sekolah, mengetahui bagaimana sebenarnya mutu pendidikan program wajib belajar sembilan tahun dan menemukan solusi pemecahan masalah dalam masalah mutu program wajib belajar sembilan tahun tersebut.
3.    Bagi pembaca, mengetahui bagaimana mutu kurikulum, proses belajar mengajar, dan tenaga kependidikan  Program Wajib Belajar Sembilan Tahun dan mutu hasil belajar program Wajib Belajar Sembilan Tahun.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Wajib Belajar
1. Latar Belakang Pelaksanaan Wajib Belajar
Program Wajib Belajar pada hakikatnya merupakan upaya sistematis pemerintah untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia, sehingga dapat berpartisipasi aktif dalam keseluruhan pem­bangunan nasional serta adaptif dalam penyerapan in­formasi ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), yang muaranya adalah mendekatkan pada pencapaian tujuan pembangunan nasional, yakni masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Selain itu, Program Wajib Belajar juga merupakan salah satu pengembangan skenario pendidikan yang dijangkaukan untuk per­luasan dan pemerataan kesempatan belajar bagi setiap warga negara. Kebijakan tersebut merupakan salah satu pengejawantahan isi pasal 31 UUD 1945 ayat 1 yang me­nyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Hal ini sejiwa dengan Hasil Konferensi Pen­didikan untuk Semua (Education for All) di Jomtien, Thailand, Maret 1990. Konferensi yang dihadiri oleh 1500 peserta dari 155 negara tersebut menegaskan bahwa “pen­didikan merupakan hak bagi semua orang dan juga dapat membantu secara meyakinkan orang menjadi lebih aman, lebih sehat, lebih berhasil, dan lebih berwawasan ling­kungan”.
Dalam kaitannya dengan pendidikan untuk semua ter­sebut, deklarasi pen­didikan untuk semua di Indonesia, khususnya berkaitan dengan pengembangan pendidikan dasar, adalah pen­didikan semesta (Universal Education). Artinya, sistem pendidikan nasional di Indonesia dikerangkakan untuk membuka dan memberikan kesempatan seluas-luasnya ke­pada semua warga negara untuk memperoleh pendidikan dasar.
Sejalan dengan isi deklarasi tersebut, awalnya Program Wajib Belajar di Indonesia dimaknai sebagai pemberian kesempatan belajar seluas-luasnya kepada setiap warga ne­gara untuk mengikuti pendidikan sampai dengan tingkat pendidikan tertentu .
Ditinjau dari dimensi pembangunan nasional secara ke­seluruhan, Program Wajib Belajar merupakan salah satu bentuk kebijakan nasional dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Meskipun secara makro, peningkatan sumber daya manusia tersebut juga mencakup aspek sosial dan ekonomi, namun dimensi utama dan kuncinya adalah pendidikan.
Dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan kua­litas sumber daya manusia Indonesia tersebut, sistem pen­didikan nasional harus dapat memberikan pendidikan da­sar bagi setiap warga negara agar masing-masing mem­peroleh sekurang-kurangnya pengetahuan dan kemampu­an dasar yang diperlukan untuk dapat berperan serta da­lam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Oleh karena itu, Program Wajib Belajar mendesak untuk dilaksanakan sehubungan dengan tuntutan untuk me­ningkatkan kualitas sumber daya manusia sebagai salah satu aset dan potensi utama pembangunan nasional.
Menyadari betapa besar dan penting peran pendidikan dalam peningkatan dan pengembangan kualitas sumber daya manusia, Pemerintah mengambil langkah antisipatif dengan pencanangan dan pemberlakuan Program Wajib Belajar bagi setiap warga negara. Pada tahap awal Pe­merintah telah mencanangkan Program Wajib Belajar 6 Tahun yang pada dasarnya merupakan prasyarat umum bahwa setiap anak usia sekolah dasar (7-12 tahun) harus dapat membaca, menulis, dan berhitung.
Program Wajib Belajar 6 Tahun yang dicanangkan Pe­merintah pada PELITA III tersebut telah memberikan dam­pak positif dan hasil yang menggembirakan, terutama pa­da percepatan pemenuhan kualitas dasar manusia Indo­nesia. Salah satu hasil yang paling mencolok dirasakan, bahwa Program Wajib Belajar 6 Tahun tersebut telah mam­pu menghantarkan Angka Partisipasi (Murni) Sekolah. Dalam rangka memperluas kesempatan pendidikan bagi seluruh warga negara dan juga dalam upaya meningkat­kan kualitas sumber daya manusia Indonesia, Pemerintah melalui PP No. 28/1990 tentang Pendidikan Dasar menetapkan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun. Orientasi dan prioritas kebijakan tersebut, antara lain: (1) penuntasan anak usia 7-12 tahun untuk Sekolah Dasar (SD), (2) penuntasan anak usia 13-15 tahun untuk SLTP, dan (3) pendidikan untuk semua (educational for all).
Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun diharapkan mampu mengantarkan manusia Indonesia pada pemilikan kom­petensi Pendidikan Dasar, sebagai kompetensi minimal. Kompetensi Pendidikan Dasar yang dimaksudkan, mengacu pada kompetensi yang termuat dalam Pasal 13 UU No. 2/1989 yaitu kemam­puan atau pengetahuan dan ketrampilan dasar yang diper­lukan untuk hidup dalam masyarakat serta untuk meng­ikuti pendidikan yang lebih tinggi (pendidikan menengah). Hal ini juga relevan dengan unsur-unsur kompetensi pen­didikan dasar yang harus dikuasai lulusan seperti yang diidentifikasi oleh The International Development Research Center, meliputi: (1) ke­mampuan berkomunikasi; (2) kemampuan dasar berhitung; (3) pengetahuan dasar tentang negara, budaya, dan se­jarah; (4) pengetahuan dan ketrampilan dasar dalam bi­dang kesehatan, gizi, mengurus rumah tangga, dan mem­perbaiki kondisi kerja; dan (5) kemampuan berpartisipasi secara aktif dalam masyarakat sebagai individu dan se­bagai anggota masyarakat, memahami hak dan kewajiban­nya sebagai warga negara, bersikap dan berpikir kritis, serta dapat memanfaatkan perpustakaan, buku-buku ba­caan, dan siaran radio. Program wajib belajar 9 tahun yang didasari konsep “pendidikan dasar untuk semua” (universal basic education), juga sejalan dengan Piagam PBB tentang Hak Asasi Manusia, tentang Hak Anak, dan tentang Hak dan Kewajiban Pendidikan Anak.
Wajib belajar 9 tahun juga bertujuan merangsang aspirasi pendidikan orangtua dan anak yang pada gilirannva diharapkan dapat meningkatkan produktivitas kerja penduduk secara nasional. Untuk itu, target penyelenggaraan wajib belajar 9 tahun bukan semata-mata untuk mencapai target angka partisipasi sesuai dengan target yang ditentukan namun perhatian yang sama ditujukan juga untuk memperbaiki kualitas pendidikan dasar dan pelaksanaan pendidikan yang mangkus (efektif).
Pelaksanaan dan ketuntasan program wajib belajar juga mampu mengurangi angka kemiskinan. Melalui pendidik ini pula, bangsa Indonesia mampu mencapai cita-citanya, yaitu menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. “Pendidikan adalah kekuatan”, maka Bangsa Indonesia akan segera terbebas dari kebodohan dan kemiskinan serta menjadi bangsa yang unggul pada kompetisi global.
Lebih lanjut, wajib belajar merupakan fondasi bagi pengembangan .jenjang pendidikan lebih lanjut dan kemajuan peradaban bangsa khususnya dalam menghadapi tantangan dan perkembangan zaman dan kompetisi tingkat global. Pendidikan dasar juga mampu mewujudkan masyarakat yang cerdas, dan ekonomi yang mapan sehingga negara menjadi maju.
Di sisi lain, pelaksanaan wajar baik 6 tahun maupun 9 tahun secara umum bertujuan untuk: 1) memberikan kesempatan setiap warga negara tingkat minimal SD dan SMP atau yang sederajat, 2) setiap warga negara dapat mengembangkan dirinya lebih lanjut yang akhirnya mampu memilih dan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan potensi yang dimiliki, 3) Setiap warga negara mampu berperan serta dalani kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara, dan 4) Memberikan jalan kepada siswa untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi.
Wajib belajar merupakan salah satu program yang gencar digalakkan oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas).
Program ini mewajibkan setiap warga negara Indonesia untuk bersekolah selama 9 (sembilan) tahun pada jenjang pendidikan dasar, yaitu dari tingkat kelas 1 Sekolah Dasar (SD) atau Madrasah Ibtidaiyah (MI) hingga kelas 9 Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Madrasah Tsanawiyah (MTs).
Landasan pokok keberadaan sistem pendidikan nasional adalah UUD 45 Bab XIII, Pasal 31, ayat (1) Yang menyatakan bahwa: Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran. Hal ini mengandung implikasi bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu memberi kesempatan belajar yang seluas-luasnya kepada setiap warga negara. Dengan demikian, dalam penerimaan seseorang sebagai peserta didik, tidak dibenarkan adanya perlakuan yang berbeda yang didasarkan atas jenis kelarruin, agama, ras, suku, Tatar belakang sosial dan tingkat kemampuan ekonomi.
Program pendidikan wajib belajar di Indonesia telah dirintis sejak tahun 1950. Dalam UU nomor 4 tahun 1950,  UU nomor 12 tahun 1954 telah ditetapkan bahwa setiap anak usia 8-14 tahunterkcna pendidikan wajib belajar. Namur program pendidikan wajib belajar yang dicanangkan oleh pemerintah belum dapat berialan sebagaimana mestinya, karena adanya pergolakan pohtik secara tetus-menerus. (A. Daliman, 1995:138).
Gerakan pendidikan wajib belajar sebagai suatu gerakan secara nasional dan sekaligus sebagai bagian tak terpisahkan dari pembangunan nasional dimulai sejak Pelita IV. Pada hari pendidikan nasional tanggal 2 Mel 1984 secara resm’l Presiders Suharto mencanangkan dimulainya pelaksanaan dan penyelenggaraan pendidikan wajib belajar.
Pada tahap ini penyelenggaraan pendidikan wajib belajar masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Berbeda dengan pendidikan wajib belajar tahun 1950, maka pendidikan wajib belajar tahun 1984 ini lebih diarahkan kepada, anak-anak usla, 7-12 tahun.
Dua kenyataan mendorong segera (illaksanakannya gerakan pendidikan wajib belajar tersebut. Kenyataan pertama, ialah masih adanya anak usia 7-12 tahun yang belum pernah bersekolah atau putus sekolah pada tingkat sekolah dasar, Pada tahun 1983 terdapat sekitar 2 juta anak usia 7-12 tahun yang terlantar dan putus sekolah pada tingkat sekolah dasar.
Sedangkan pada saat dicanangkannya pendidikan wajib belajar pada tahun 1984 masih terdapat anak berusia 7-12 tahun sekitar kurang lebih 1,5 juta orang yang belum bersekolah. Kenyataan kedua, ialah adanya keinginan pemerintah untuk memenuhi ketetapan GBHN yang telah mencanturnkan rencana penyelenggaraan pendidikan wajib belajar sejak GBHN 1978 maupun GBHN 1983. Gerakan pendidikan wajib belajar yang dimulai 2 Mel 1984 dipandang sebagai pemenuhan janji pemerintah untuk menyediakan sarana dan prasarana pendidikan dasar secara cukup dan memadai, sehingga cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang termaksud dalam Pembukaan UUD 1945 segera dapat diwujudkan. (Haris Mudjiman, 1994:1-2).
Peningkatan pendidikan wajib belajar menjadi pendidikan wajib belalar 9 tahun dengan harapan terwujud pemerataan pendidikan dasar (SD dan SLIP) yang bermutu serta lebih menjangkau penduduk daerah terpencil. Hal ini sesuai dengan UU No: 2 tahun 1989 tentang stern pendidikan nasional, kemudian lebih dipertegas lagi di dalam Undang-Undang RI No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional sebagaimana yang tertuan pada pasal 34 sebagai berukut:
a.    Setiap warga negara yang berusia 6 tahun dapat mengikuti program wajib belajar.
b.    Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terse­lenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.
c.    Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan. Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
d.   Ketentuan mengenai wajib belajar sebagaimana di­maksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Di dalam GBHN 1993, dicantumkan bahwa pemerintah harus berupaya untuk memperluas kesempatan pendidikan baik pendidikan dasar, pendidikan menengah kejuruan, maupun pendidikan profesional, melalui jalur sekolah dan jalur luar sekolah. Dalam rangka memperluas kesempatan belajar pendidikan dasar, maka pada tanggal 2 Mel 1994 pemerintah mencanangkan program pendidikan wajib belajar 9 tahun. lebih lanjut dikemukakan bahwa tahap penting dalam pembangunan pendidikan adalah meningkatkan pendidikan wajib belajar 6 tahun menjadi 9 tahun. (Sri Hadjoko Wirjornartorio, 1995:49, Ahmadi, 1991:74,182).
Pendidikan wajib belajar 9 tahun menganut konsepsi pendidikan semesta (universal basic education), yaitu suatu wawasan untuk membuka kesempatan pendidikan dasar. Jadi sasaran utamanya adalah menumbuhkan aspirasi pendidikan orang tua dan peserta didik yang telah cukup umur untuk mengikuti pendidikan, dengan maksud untuk meningkatkan produktivitas angkatan kerja secara makro.
Maksud utamanya adalah agar anak-anak memiliki kesempatan untuk terus belajar sampai dengan usia 15 tahun, dan sebagai landasan untuk belajar lebih lanjut baik dijenjang pendidikan lebih tinggi maupun di dunia kerja. (Kelompok PSDM, 1992, Adiwikarta, 1988).
Pelaksanaan pendidikan wajib belajar 9 tahun telah diatur lebih luas di dalam UU No: 20 tahun 2003. Bahwa sistem pendidikan nasional memberi hak kepada setiap warga negara memperoleh pendidikan yang bermutu dan juga berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat (pasal 5 ayat 1 dan 5).
Bagi warga negara yang memiliki kelainan emosional, mental, intelektual, dan atau sosial serta warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.
Demikian juga warga negara di daerah terpencil atau terkebelakang serta masyarakat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus (pasal 5 ayat 2, 3 dan 4). Lebih jauh dijelaskan bahwa pendidikan wajib belajar 9 tahun bagi anak usia 7 sampai 15 tahun harus diselenggarakan oleh pemerintah (pusat), pemerintah daerah, dan masyarakat tanpa dipungut biaya. (Arifin, 2003: 11).
Merujuk pada paparan yang telah dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa ciri-ciri pelaksanaan pendidikan wajib belajar-9 tahun di Indonesia adalah; (1) tidak bersifat paksaan melainkan persuasif, (2) ddak ada sansi hukum, (3) tidak diatur dengan Undang-Undang tersendiri, dan (4) keberhasilan diukur dengan angka partisipasi pendidikan dasar yang semakin menmigkat.
Selain itu, Program Wajar 9 th ini diperkuat dengan Instruksi Presiden Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara; berikut adalah beberapa hal yang relevan dengan pembahasan yang dimuat dalam Permendiknas No 35 tahun 2006:
PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 35TAHUN2006 TANGGAL 18 SEPTEMBER 2006 PEDOMAN PELAKSANAAN GERAKAN NASIONAL PERCEPATAN PENUNTASAN WAJIB BELAJAR PENDIDIKAN DASAR SEMBILAN TAHUN DAN PEMBERANTASAN BUTA AKSARA (GNP-PWB/PBA)
a. Tujuan GNP-PWB/PBA adalah:
1)      Mempercepat perluasan akses anak usia 7-12 tahun di SD/MI/pendidikan yang setara dalam rangka mendukung penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun pada akhir tahun 2008;
2)      Mempercepat perluasan akses anak usia 13-15 tahun di SMP/MTs/pendidikan yang setara dalam rangka mendukung penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun pada akhir tahun 2008;
3)      Mempercepat peningkatan angka melek aksara penduduk usia 15 tahun ke atas melalui pengurangan jumlah penduduk buta aksara usia 15 tahun ke atas (data BPS 2004, sebanyak 15.414.311 orang atau 10,21%) menjadi 5% pada akhir tahun 2009.
b. Sasaran dan Target GNP-PWB/PBA
1.    Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun (GNP-PWB)
a. Sasaran GNP-PWB adalah:
1)   Anak usia 7-12 tahun yang belum mengikuti pendidikan atau putus sekolah SD/MI/pendidikan yang setara;
2)   Anak yang telah lulus SD/MI/pendidikan yang setara, yang belum memperoleh kesempatan belajar, dan yang putus sekolah di SMP/MTs/pendidikan yang setara.
b. Target GNP-PWB adalah:
1)   Meningkatnya persentase peserta didik SD/MI/pendidikan yang setara yang berusia 7-12 tahun terhadap penduduk usia 7-12 tahun (APM) sekurang-kurangnya menjadi 95% pada akhir Tahun 2008;
2)   Meningkatnya persentase peserta didik SMP/MTs/pendidikan yang setara terhadap penduduk usia 13-15 tahun (APK) sekurang-kurangnya menjadi 95% pada akhir Tahun 2008;
3)   Menurunnya angka putus sekolah SD/MI/pendidikan yang setara setinggi-tingginya menjadi 1% dan SMP/MTs/ pendidikan yang setara setinggi-tingginya menjadi 1%;
4)   Meningkatnya kualitas lulusan dengan indikator 60% peserta Ujian Sekolah SD mencapai nilai di atas 6.00, 70% peserta Ujian Nasional SMP mencapai nilai di atas 6,00;
5)   Terlengkapinya sarana dan prasarana pendidikan sehingga 75% SD/MI dan 75% SMP/MTs memenuhi Standar Nasional Pendidikan;
6)   Meningkatnya jumlah sekolah yang memiliki perpustakaan menjadi 30% untuk SD/MI/pendidikan yang sederajat, dan 80% untuk SMP/MTs/pendidikan yang sederajat;
7)   Meningkatnya jumlah gedung SD/MI/pendidikan yang sederajat menjadi 100% dalam kondisi baik, dan SMP/MTs/pendidikan yang sederajat menjadi 99% dalam kondisi baik;
8)   Terbentuknya dan berfungsinya jaringan sistem informasi pendidikan dengan baik antarpusat-provinsi-kabupaten/kota;
9)   Empat puluh persen (40%) SD/MI dan tujuh puluh persen (70%) SMP/MTs menjalankan manajemen berbasis sekolah (MBS) dengan baik;
10)     Meningkatnya kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan.

c. Strategi Pelaksanaan GNP-PWB/PBA
1.    Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun (GNP-PWB)
a. Perluasan dan pemerataan pendidikan:
1)   memperluas dan meratakan layanan pendidikan bagi anak usia wajar dikdas termasuk anak-anak dengan kebutuhan khusus terutama di daerah terpencil, terisolasi, dan tertinggal;
2)   memberikan perhatian khusus dalam bentuk pembinaan, pemberian bantuan teknis, dan subsidi pada daerah-daerah yang APM/APK-nya rendah, terutama yang masih di bawah 75%, dan daerah-daerah yang angka absolutnya (anak tidak sekolah) tinggi;
3)   menyediakan subsidi untuk kegiatan operasional sekolah dan keperluan siswa agar siswa dapat melanjutkan dan menamatkan pendidikan di SD/SMP/pendidikan yang sederajat tanpa terkendala oleh permasalahan ekonomi, geografi, sosial-budaya, daya tampung, dan lain-lain;
4)   melakukan sosialisasi percepatan penuntasan Wajar Dikdas melalui berbagai cara kepada berbagai pihak, terutama masyarakat yang belum menyadari akan pentingnya “pendidikan bagi semua”;
5)   melakukan advokasi dan asistensi kepada pemerintah daerah, terutama yang perhatian terhadap pembangunan pendidikannya masih tergolong rendah.
b. Peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan:
1)   melakukan upaya perbaikan mutu pendidikan melalui peningkatan prestasi akademik dan non-akademik siswa;
2)   menurunkan angka mengulang kelas dan angka putus sekolah;
3)   mengembangkan dan mengimplementasikan model-model pembelajaran yang bersifat aktif, kreatif/inovatif, efektif, menyenangkan, kontekstual, aktual, konkret, dan bermakna bagi pengembangan siswa;
4)   melakukan rehabilitasi sarana/prasarana dan pemenuhan fasilitas pembelajaran agar memadai untuk menyelenggarakan proses belajar dan mengajar;
5)   meningkatkan kapasitas (kemampuan), baik guru, kepala sekolah maupun kelembagaan sekolah.
c. Tata kelola, akuntabilitas, dan pencitraan publik:
1)   menerapkan prinsip tata kelola yang baik (good governance), yaitu partisipatif, transparansi, akuntabilitas, tanggung jawab, wawasan ke depan, penegakan hukum, keadilan, demokrasi, prediktif, kepekaan, profesional, efektif dan efisien, serta kepastian jaminan mutu;
2)   meningkatkan kapasitas aparatur dan lembaga untuk melaksanakan tugas dan fungsinya;
3)   mengedepankan pengelolaan, kepemimpinan, organisasi dan administrasi pendidikan yang berpihak pada pelayanan peserta didik.
d. Pembiayaan
1. Pembiayaan untuk pelaksanaan GNP-PWB/PBA bersumber dari:
a.    anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN);
b.    anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) provinsi;
c.    anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) kabupaten/kota; dan
d.   sumber lain yang tidak mengikat.
2. Sumber pendanaan tersebut diupayakan dengan proporsi sebagai berikut:
a.     APBN Pusat; antara 50% – 60%
b.    APBD Provinsi; antara 20% – 30%
c.     APBD Kabupaten/Kota; antara 20% – 30%.
3. Prosedur tentang pengajuan dana, pencairan dana, rincian penggunaan dana, dan pertanggungjawaban dana, mengacu pada peraturan yang berlaku.

Wardiman Djojonegoro, (1992) mengemukakan alasan-alasan yang melatar belakangi dicanangkannya program pendidikan wajib belajar 9 tahun bag, semua anak usia 7-15 mulai tahun 1994 adalah:
1.    Sekitar 73,7% angkatan kerja Indonesia pada tahun 1992 hanya berpendidikan Sekolah Dasar atau lebih rendah, yaltu mereka tidak tamat Sekolah Dasar, dan tidak pernah sekolah. Jauh ketinggalan dibandingkan dengan negara-negara lain di ASEAN, seperti Singapura.
2.    Dan sudut pandang kepentingan ekonomi, pendidikan, dasar 9 tahun merupakan upaya peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia yang dapat member, nilal tambah lebih tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi. Dengan rata-rata pendidikan dasar 9 tahun, ditnungkinkar. bagi mereka dapat memperluas wawasannya dalam menciptakan kegiatan ekonomi secara lebih beranekaragam (diversified).
3.    Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin besar peluang untuk lebih mampu berperan serta sebagai pelaku ekonomi dalam sektor-sektor ekonomi atau sektor-sektor industri.
4.    Dari segi kepentingan peserta didik, peningkatan usia wajib belajar dari 6 tahun menjadi 9 tahun akan memberikan kematangan yang lebih tinggi dalam penguasaan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan. Dengan meningkatnya penguasaan kemampuan dan keterampilan, akan memperbesar peluang yang lebih merata untuk meningkatkan martabat, kesejahteraan, serta makna hidupnya.
5.    Dengan semakin meluasnya kesempatan belajar 9 tahun, maka usia minimal angkatan kerja produktif dapat ditingkatkan dari 10 tahun menjadi 15 tahun.

Berdasarkan alasan-alasan yang melatarbelakangi dicanangkan program-program pendidikan wajib belajar 9 tahun sebagaimana yang dikemukakan di atas, memberikan gambaran bahwa untuk mencapai peningkatan kualitas sumber daya manusia, yang dapat memberi nilai tambah pada diri individu (masyarakat) itu sendiri mengenai penguasaan ilmu engetahuan, keterampilan, yang dapat mengantar kepertumbuhan ekonomi, peningkatan produktivitas kerja, martabat, dan kesejahteraan hidupnya, hanya dapat dicapai lewat penuntasan pelaksanaan pendidikan untuk semua.

2. Strategi Pelaksanaan Wajib Belajar
Strategi pelaksanaan Wajib Belajar 9 Tahun di Indonesia, saat ini, dilaksanakan dengan menerapkan beberapa pendekatan, meliputi: pendekatan budaya, pendekatan sosial, pendekatan agama, pendekatan birokrasi, pendekatan hukum, serta pendekatan konteks.
a. Pendekatan Budaya
Sosialisasi wajib belajar dilakukan dengan memanfaatkan budaya yang berkembang di daerah tersebut; misalnya daerah yang masyarakatnya senang dengan seni, maka pesan-pesan wajib belajar dapat disisipkan pada gelar seni. Masyarakat yang sangat menghormati adat, maka tokoh adat dilibatkan dalam pemikiran dan pelaksanaan sosialisasi Wajar Dikdas sembilan tahun yang bermutu. Sanksi adat biasanya lebih disegani daripada sanksi hukum.
b. Pendekatan Sosial
Sosialisasi Wajar Dikdas sembilan tahun yang bermutu perlu memperhatikan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Bila dalam masyarakat ada tokoh yang disegani dan bisa menjadi panutan, maka tokoh ini perlu dilibatkan dalam sosialisasi. Tokoh masyarakat ini bisa berasal dari tokoh formal, maupun tokoh non formal. Pada masyarakat ekonomi lemah, sosialisasi dilakukan dengan memberikan informasi tentang pelayanan pemerintah untuk pendidikan, misalnya BOS ataupun beasiswa. Bila anak sibuk membantu kerja orangtua, anak tidak harus berhenti bekerja, tetapi disampaikan jenis pendidikan alternatif yang bisa diikuti oleh anak yang bersangkutan, misalnya SMP Terbuka atau program Paket B.
c. Pendekatan Agama
Pada daerah tertentu ada yang masyarakatnya sangat agamis dan sangat mentaati ayat-ayat suci. Untuk daerah seperti ini peran para tokoh agama sangat sesuai. Dengan mengutip ayat-ayat suci, maka konsep wajib belajar lebih mudah diikuti. Untuk ini motto “belajar adalah ibadah” yang didasarkan atas kajian yang sangat mendalam oleh para tokoh agama dapat diangkat menjadi motto dalam sosialisasi Wajar Dikdas sembilan tahun yang bermutu.
d. Pendekatan Birokrasi
Pendekatan birokrasi ialah upaya memanfaatkan sistem pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Pembentukan tim koordinasi di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan merupakan salah satu bentuk pendekatan birokrasi. Birokrasi ditempuh karena dengan pendekatan ini lebih mudah diperoleh berbagai faktor penunjang baik tenaga, sarana, maupun dana. Namun demikian pendekatan ini akan lebih berhasil bila digabung dengan pendekatan yang lain.
e. Pendekatan Hukum
Pendekatan hukum ialah pendekatan yang hanya digunakan untuk daerah yang masyarakatnya memiliki kesadaran terhadap pendidikan sangat rendah dan tingkat resistensinya tinggi. Program Wajib Belajar Sembilan Tahun sampai saat ini masih memberlakukan konsep “universal basic education” dan belum menerapkan konsep “compulsary education”. Artinya, program wajib belajar baru sebatas himbauan tanpa diikuti sanksi hukum. Namun jika diperlukan, UU Nomor 20 tahun 2003, memberi kemungkinan kepada pemerintah untuk menerapkan konsep “compulsary education”, sehingga berkonsekuensi adanya sanksi hukum bagi yang tidak mau melaksanakan tanggung jawabnya terhadap program wajib belajar, baik pemerintah, pemerintah daerah, orangtua, maupun peserta didik.
Untuk mempercepat akselerasi penuntasan wajib belajar, pada tahun 2006 pemerintah menerbitkan Instruksi Presiden nomor 5 tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara. Inpres ini menginstruksikan kepada para Menteri terkait, Kepala BPS, Gubernur, Bupati dan Walikota untuk memberikan dukungan dan mensukseskan program pemerintah yang dimaksud.

3. Kondisi Pencapaian Wajib Belajar 9 Tahun
Indikator yang dipakai pemerintah untuk mengukur ketercapaian Program Wajib Belajar 9 Tahun adalah pencapaian Angka Partisipasi Kasar (APK). APK adalah hasil perhitungan jumlah siswa SMP/sederajat di suatu daerah dibagi jumlah penduduk usia 13 s.d. 15 tahun dikali 100%. Tingkat ketuntasan daerah dalam melaksanakan program Wajar Dikdas 9 Tahun dikategorikan:
a. Tuntas pratama, bila APK mencapai 80% s.d. 84%
b. Tuntas madya, bila APK mencapai 85 % s.d. 89%
c. Tuntas utama, bila APK mencapai 90% s.d. 94%
d. Tuntas paripurna, bila APK mencapai minimal 95%.

B. Mutu Pendidikan
1. Pengertian Mutu
Mutu secara etimologis bersinonim dengan kata ‘kualitas, bobot, derajat, jenis, karat, kadar, kelas, nilai, taraf’. Dengan kata lain, mutu adalah kondisi (kualitas, bobot, derajat, dst) barang atau jasa yang dihasilkan dari sebuah proses. Batasan mutu biasanya diserta deskripsi proses produksi untuk menghasilkan barang atau jasa tersebut.
Pembahasan tentang mutu biasanya tidak dilepaskan dari tonggak sejarah yang menempatkan mutu sebagai esensi utama yang harus dipertimbangkan dari sebuah rencana kerja (produksi).
Dalam bidang pendidikan, untuk bisa menghasilkan mutu, terdapat empat usaha mendasar yang harus dilakukan dalam suatu lembaga pendidikan, yaitu :
1.    Menciptakan situasi menang-menang (win-win solution) dan bukan situasi kalah­ menang diantara pihak yang berkepentingan dengan lembaga pendidikan (stakeholders). Dalam hal ini terutama antara pimpinan lembaga dengan staf lembaga harus terjadi kondisi yang saling menguntungkan satu sama lain dalam meraih mutu produk/jasa yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan tersebut.
2.    Perlunya ditumbuhkembangkan motivasi instrinsik pada setiap orang yang terlibat dalam proses meraih mutu. Setiap orang dalam lembaga pendidikan harus tumbuh motivasi bahwa hasil kegiatannya mencapai mutu tertentu yang meningkat terus menerus, terutama sesuai dengan kebutuhan dan harapan pengguna/langganan.
3.    Setiap pimpinan harus berorientasi pada proses dan hasil jangka panjang. Penerapan manajemen mutu terpadu dalam pendidikan bukanlah suatu proses perubahan jangka pendek, tetapi usaha jangka panjang yang konsisten.
4.    Dalam menggerakkan segala kemampuan lembaga pendidikan untuk mencapai mutu yang ditetapkan, harus dikembangkan adanya kerjasama antar unsur-unsur pelaku proses mencapai hasil mutu. Janganlah diantara mereka terjadi persaingan yang mengganggu proses mencapai hasil mutu tersebut. Mereka adalah satu kesatuan yang harus bekerjasama dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain untuk menghasilkan mutu sesuai yang diharapkan.
Dalam kerangka manajemen pengembangan mutu terpadu, usaha pendidikan tidak lain adalah merupakan usaha jasa yang memberikan pelayanan kepada pelangggannya, yaitu mereka yang belajar dalam lembaga pendidikan tersebut.
Pelanggan layanan pendidikan terdiri dari berbagai unsur paling tidak empat kelompok. Mereka itu adalah pertama yang belajar, bisa mahasiswa/ pelajar/murid/peserta belajar yang biasa disebut klien/pelanggan primer (primary external customers). Mereka inilah yang langsung menerima manfaat layanan pendidikan dari lembaga tersebut. Kedua, para klien terkait dengan orang yang mengirimnya ke lembaga pendidikan, yaitu orang tua atau lembaga tempat klien tersebut bekerja, dan mereka ini kita sebut sebagai pelanggan sekunder (secondary external customers). Pelanggan lainnya yang ketiga bersifat tersier adalah lapangan kerja bisa pemerintah maupun masyarakat pengguna output pendidikan (tertiary external customers). Selain itu, yang keempat, dalam hubungan kelembagaan masih terdapat pelanggan lainnya yaitu yang berasal dari intern lembaga; mereka itu adalah para guru/dosen/tutor dan tenaga administrasi lembaga pendidikan, serta pimpinan lembaga pendidikan (internal customers). Walaupun para guru/dosen/tutor dan tenaga administrasi, serta pimpinan lembaga pendidikan tersebut terlibat dalam proses pelayanan jasa, tetapi mereka termasuk juga pelanggan jika dilihat dari hubungan manajemen. Mereka berkepentingan dengan lembaga tersebut untuk maju, karena semakin maju dan berkualitas lem-baga pendidikan mereka akan diuntungkan, baik kebanggaan maupun finansial.
Seperti disebut diatas bahwa program peningkatan mutu harus berorientasi kepada kebutuhan/harapan pelanggan, maka layanan pendidikan suatu lembaga haruslah memperhatikan masing-masing pelanggan diatas. Kepuasan dan kebanggaan dari mereka sebagai penerima manfaat layanan pendidikan harus menjadi acuan bagi program peningkatan mutu layanan pendidikan.
Potensi perkembangan, dan keaktifan murid tentu saja merupakan yang paling utama dalam peningkatan mutu pendidikan. Perkembangan fisik yang baik, baik jasmani maupun otak, menentukan kemajuannya. Demikian pula dengan lainnya, misalnya bakat, perkembangan mental, emosional, pibadi, sosial, sikap mental, nilai-nilai, minat, pengertian, umur, dan kesehatan; kesemuanya akan mempengaruhi hasil belajar dan mutu seseorang. Untuk itu, maka perhatian terhadap paserta didik menjadi sangat penting.
Mutu pendidikan dapat dilihat dari beberapa indikator. Pada makalah ini, mutu pendidikan akan dibahas dari beberapa sudut pandang dan indikator, meliputi kurikulum, sumberdaya manusia (pendidik dan tenaga kependidikan), dan prestasi hasil pendidikan (hasil UN).
2.  Mutu Kurikulum dan Proses Pembelajaran
Dalam UU No. 2 Tahun 1989, materi yang disajikan menurut kurikulum pendidikan dasar (sekolah dasar dan sekolah menengah pertama) terdiri atas mata pelajaran:

a.    Pendidikan Pancasila.
b.    Pendidikan agama.
c.    Pendidikan kewarganegaraan.
d.   Bahasa Indonesia.
e.    Membaca dan menulis.
f.     Matematika,termasuk berhitung.
g.    Pengantar sains dan teknologi.
h.    Ilmu bumi.
i.      Sejarah nasional dan sejarah umum.

Sedangkan menurut UU No. 20 Tahun 2003:

a.    Pendidikan agama.
b.    Pendidikan kewarganegaraan.
c.    Bahasa.
d.   Matematika.
e.    Ilmu pengetahuan alam.
f.     Ilmu pengetahuan sosial.
g.    Seni, budaya, dan olahraga; serta
h.    Keterampilan, kesenian, dan muatan lokal.
i.      Kerajinan tangan dan kesenian.
j.      Pendidikan jasmani dan kesehatan.
k.    Menggambar.
l.      Bahasa Inggris.

Kedua ketentuan dalam UU No. 2 tentang Sisdiknas dan RUU Sisdiknas (2003) tampaknya berbeda, tetapi hakikatnya yang perlu dipertanyakan adalah mengapa mata pelajaran tersebut yang disajikan. Misalnya dalam UU Sisdiknas tahun 2003, mata pelajaran seni, budaya, dan olahraga dikelompokkan dalam satu gugus. Apa bedanya dengan dipisahkannya menggambar dan kesenian pada UU No. 2 Tahun 1989. Demikian pula dengan IPS. Dalam UU Sisdiknas Tahun 2003 dengan ilmu bumi, sejarah pada UU No. 2 Th. 1989. Pertanyaannya adalah apakah benar mata pelajaran tersebut menunjang tercapainya fungsi dan tujuan pendidikan nasional.
Kurikulum pendidikan dasar memuat enam wilayah yang bermakna dalam menjadikan peserta didik memahami makna dunia di mana mereka hidup dan mengembangkan diri. Keenam ranah makna tersebut yaitu: symbolics, empirics, synnoetics, aesthetics, ethics, dan synoptics (realms of meaning).
a.    Wilayah pertama symbolics, biasanya terdiri atas mata pelajaran bahasa, matematika, dan mata pelajaran lain yang memuat/mempelajari simbol-simbol arbitrer. Kelompok mata pelajaran ini bermanfaat bagi peserta didik untuk mengekspresikan dan mengkomunikasikan diri.
b.    Wilayah kedua empirics, berisi mata pelajaran ilmu fisika alam, ilmu hayat (tentang kehidupan), dan ilmu yang mempelajari fisik manusia. Ilmu ini menyediakan deskripsi faktual, generalisasi, formula dan penjelasan teoretis yang dilandaskan pada observasi dan eksperimen.
c.    Wilayah ketiga esthetics, berisi mata pelajaran seni misalnya seni musik, seni visual, seni gerak dan seni sastra.
d.   Wilayah keempat synnoetics, berisi mata pelajaran yang membekali peserta didik memiliki saling memahami sesama dan memiliki kepekaan sosial.
e.    Wilayah kelima ethics, berisi mata pelajaran yang membekali peserta didik etika dan budi pekerti.
f.     Wilayah keenam, Synoptics, mengacu pada mata pelajaran yang bersifat pemahaman integratif untuk membekali peserta didik menjadi manusia madani. Termasuk dalam kelompok ini adalah sejarah, agama, dan filsafat.
Kandungan pengetahuan yang terdapat di dalam setiap wilayah dan sub-wilayah demikian luas. Karena itu pendidikan perlu memilih yang esensial, mengutamakan pemilihan mata pelajaran agar para pelajar dapat mempelajari sesuatu sampai tingkat memahami makna yang dipelajari bagi kehidupannya.
Kurikulum yang diterapkan pada program Wajar Dikdas 9 Tahun masih jauh dari harapan terciptanya sistem pendidikan yang memungkinkan peserta didik mengalami “joy of discovery” dalam proses belajarnya. Diterapkannya KTSP sebagai produk UU No. 20 tahun 2003 belum membuat kondisi mutu pendidikan meningkat.
Untuk mendorong pendidikan, khususnya di negara berkembang, berlangsung efektif, Unesco me­lalui International Commision on Education for The Twenty First Century, mengusulkan empat pilar belajar, yaitu Learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be. Jika empat pilar tersebut dapat diterapkan secara paripurna, dapat diartikan proses pembelajaran memungkinkan peserta didik menguasai cara memperoleh pengetahuan, berkesempatan mene­rapkan pengetahuan yang dipelajarinya, dan berkesempat­an berinteraksi secara aktif dengan sesama peserta didik sehingga dapat menemukan dirinya. Model pembelajaran seperti ini hanya dapat berlangsung dengan tenaga guru yang penuh konsentrasi, peralatan yang memadai, materi yang terpilih, dan waktu yang cukup tanpa harus mengejar target ujian nasional.
Kita bisa melihat, betapa tingginya tuntutan terhadap peran yang diharapkan dari pendidikan dalam membentuk karakter dan mental generasi muda agar dapat melakukan transformasi budaya. Suatu tuntutan yang pada hakikatnya telah digariskan oleh para pendiri Republik Indonesia, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional.
Pada sisi lain, kondisi mutu guru di Indonesia juga masih belum ideal. Secara nasional  jumlah guru dari TK sampai dengan SMA berjumlah 2.245.952 orang. Dari jumlah tersebut, guru yang memenuhi syarat menurut UU No. 20/2003, artinya yang telah memiliki kualifikasi pendidikan S1 atau lebih, baru berjumlah 37,3% (837.460 orang). Sedangkan guru yang “belum layak”, atau memiliki pendidikan di bawah S1/D4  jumlahnya masih berjumlah 1.408.492 orang.
3. Mutu Hasil Ujian Nasional
Peningkatan mutu pendidikan Program Wajib Belajar Sembilan Tahun dapat dilihat dari beberapa indikator. Salah satu indikator esensial adalah prestasi hasil belajar peserta didik. Walaupun masih menjadi bahan perdebatan panjang, hasil Ujian Nasional (UN) diyakini masih bisa menjadi bukti empiris prestasi belajar peserta didik yang secara nasional diakui memiliki validitas dan reliabilitas tinggi. Direktur Pembinaan SMP menyatakan “Peningkatan mutu pendidikan di SMP, dan mutu Wajar Dikdas, dapat dilihat dari tingginya nilai rerata UN, kecenderungan kenaikan nilai rerata UN, dan tingginya tingkat kelulusan peserta didik”.
Ujian Nasional untuk SMP telah diselenggarakan setiap tahun sejak tahun ajaran 2002/ 2003 sampai saat ini. Pada awalnya, terdapat tiga mata pelajaran pada SMP yang diujikan dalam UN, yaitu mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika. Mulai tahun ajaran 2007/2008, mata pelajaran yang diujikan dalam UN menjadi empat mata pelajaran, yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA).
Hasil UN untuk SMP, baik untuk setiap sekolah, kab/kota, dan provinsi, serta secara nasional telah dianalisis secara kuantitatif dan didokumentasikan secara resmi oleh Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik), Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pendidikan Nasional. Hasil UN tersebut kemudian dianalisis lebih lanjut oleh Direktorat Pembinaan SMP agar dapat diinterpretasi dan dimaknai secara tepat sehingga menghasilkan informasi yang akurat Informasi tersebut kemudian dijadikan sebagai dasar pertimbangan untuk kepentingan pengambilan kebijakan yang terkait dengan upaya peningkatan mutu pendidikan, terutama pada jenjang SMP.
Analisis terhadap data hasil UN dilakukan dalam beberapa tahap. Pertama, dilakukan rekapitulasi data rerata nilai UN dan persentase kelulusan secara nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Hal ini untuk melihat gambaran mutu pendidikan secara umum. Kedua, berdasarkan nilai rerata UN sekolah, dilakukan pengelompokan kategori atau level mutu sekolah untuk melihat secara rinci kondisi mutu di tingkat sekolah.
No
Kategori/Level
Sekolah dengan Nilai UN
1.
Sangat Baik    (A)
Jumlah nilai UN ≥ 22,5 atau
Rerata UN ≥ 7,5.
2.
Baik                (B)
Jumlah nilai UN antara 22,49 s.d 19,5 atau Rerata UN 7,49 s.d 6,5.
3.
Cukup             (C)
Jumlah nilai UN antara 19,45 s.d 16,5 atau Rerata UN 6,49 s.d 5,5.
4.
Kurang            (D)
Jumlah nilai UN antara 16,49 s.d 13,5 atau Rerata UN 5,49 s.d 4,5.
5.
Sangat Kurang (E)
Jumlah nilai UN ≤ 13,49 atau
Rerata UN ≤ 4,49.
Pengelompokan kategori atau level sekolah berdasarkan nilai UN digunakan sebagai dasar dalam pemetaan sasaran program peningkatan mutu. Sekolah-sekolah yang masuk dalam level Sangat Baik (A) diprioritaskan untuk mendapatkan program peningkatan mutu Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), dan Sekolah Standar Nasional (SSN). Sekolah sekolah pada level Baik (B) termasuk kategori Sekolah Potensial diprioritaskan mendapatkan program peningkatan mutu untuk menuju SSN. Sekolah-sekolah dengan level Cukup (C), Kurang (D), dan Sangat Kurang (E) masuk dalam kategori Sekolah Rintisan. Sekolah-sekolah dalam kategori Rintisan tersebut akan mendapat berbagai program untuk pembenahan dan peningkatan mutu dalam berbagai aspek penyelenggaraan pendidikan di sekolah.
Berdasarkan data hasil UN dari Puspendik, disusun tabulasi mengenai perbandingan rerata nilai UN dan pesrsentase peserta didik SMP sejak tahun 2004/2005 sampai dengan 2007/2008 seperti terlihat pada tabel di bawah ini:


No
Tahun Ajaran
Rerata Nilai UN
Peserta UN
Kelulusan Peserta
BIN
ING
MAT
IPA
Rerata
Jumlah
%
1.
2004/2005
6,64
6,15
6,57
-
6,45
2,363,816
2,057,123
87,03
2.
2005/2006
7,46
6,62
7,13
-
7,07
2,387,807
2,205,303
92,36
3.
2006/2007
7,39
6,72
6,96
-
7,02
2,485,766
2,332,728
93,84
4.
2007/2008
7,00
6,80
6,68
7,00
6,87
2,518,561
2,337,935
92,83
Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa rerata UN 2005/2006 mengalami peningkatan 0,62, dari 6,45 pada tahun 2004/2005 menjadi 7,07. Namun demikian, rerata UN ini mengalami sedikit penurunan pada tahun 2006/2007 sebesar 0,05. Demikian juga pada tahun ajaran 2007/2008 nilai rerata UN juga mengalami penurunan sebesar 0,15. Penurunan rerata UN secara nasional terutama pada tahun 2007/2008 perlu mendapat perhatian yang serius, baik dari Direktorat Pembinaan SMP maupun seluruh Dinas Pendidikan Provinsi dan Kab./Kota.
Persentase kelulusan peserta didik SMP sejak tahun 2004/2005 sampai dengan 2006/2007 mengalami kenaikan yang cukup besar. Tingkat kenaikan persentase kelulusan dari tahun ke tahun adalah dari tahun 2004/2005 ke 2005/2006 sebesar 5,33%; dan dari tahun 2005/2006 ke tahun 2006/2007 sebesar 1,48%. Hal ini mengindikasikan makin meratanya mutu lulusan dan makin sedikitnya jumlah peserta didik yang tidak lulus. Meskipun demikian, pada tahun ajaran 2007/2008 terdapat penurunan persentase kelulusan sebesar 1,01%
No
Kategori
Jumlah Sekolah pada Tahun Ajaran
2004/2005
2005/2006
2006/2007
2007/2008
1.
Sangat Baik      (A)
2.042
5.098
5.240
4687
2.
Baik                 (B)
6.401
9.478
9.778
9829
3.
Cukup              (C)
8754
6332
6197
7104
4.
Kurang             (D)
4028
1362
1733
2054
5,
Sangat Kurang (E)
675
183
254
619

Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa jumlah sekolah yang masuk kategori Sangat Baik mulai dari tahun 2004/2005 sampai dengan 2006/2007 cenderung naik secara berarti. Demikian pula jumlah sekolah kategori Baik juga cenderung naik. Dari kondisi tersebut dapat ditegaskan bahwa mulai tahun 2004/2005 sampai dengan 2006/2007, upaya peningkatan mutu sekolah telah berhasil dengan baik .
Jumlah sekolah kategori Cukup pada tahun 2004/2005 sampai dengan 2006/2007 cenderung turun. Hal inii disebabkan adanya cukup banyak sekolah yang pada awalnya berkategori Cukup mengalami kenaikan kategori menjadi Baik, dan bahkan Sangat Baik. “Hal ini merupakan indikasi keberhasilan program peningkatan mutu pada periode tersebut”.
Pada tahun ajaran 2004/2005 sampai 2005/2006, jumlah sekolah kategori Kurang dan Sangat Kurang mengalami penurunan yang berarti. Hal ini juga merupakan indikasi keberhasilan program peningkatan mutu pada periode tersebut. Namun demikian, pada tahun 2006/2007 dan 2007/2008 terjadi peningkatan jumlah sekolah berkategori Kurang dan Sangat Kurang. Sebaliknya, terjadi penurunan jumlah sekolah kategori Sangat Baik . Ini berarti terdapat sejumlah sekolah yang mengalami penurunan kategori atau terjadi penurunan mutu sekolah.
Jika dilihat dari tingkat provinsi, terlihat deviasi nilai dari daerah-daerah yang maju dengan tingkat kesejahteraan baik mendapatkan nilaiUN cenderung tinggi. Sebaliknya, provinsi yang “miskin” nilai rerata hasil UN siswa SMP relatif lebih rendah. Dari tabel data di atas, nilai rerata UN SMP provinsi Bali pada tiga tahun terakhir merupakan yang terbaik, menduduki ranking pertama. Nilai rerata UN Provinsi Bali tiga berturut-turut adalah tahun 2005/2006 = 7,61; tahun 2006/2007 = 7,82; dan tahun 2007/2008 = 7,85. Di samping nilai reratanya terbaik, juga tiap tahunnya cenderung naik. Bahkan, pada tahun 2007/2008 terjadi kenaikan rerata UN, meskipun secara nasional terjadi penurunan nilai UN karena ditengarai soal UN tahun 2007/2008 lebih sulit dari tahun-tahun sebelumnya. Hal ini sangat menggembirakan, dan patut menjadi teladan bagi provinsi-provinsi lain di Indonesia.
Nilai rerata UN SNIP Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) termasuk terendah, dan patut mendapat perhatian serius. Nilai rerata UN tiga tahun terakhir Provinsi NTT adalah tahun 2005/2006 = 5,80; tahun 2006/2007 = 5,43; dan tahun 2007/2008 = 5,00. Nilai tersebut jauh di bawah nilai rerata UN secara nasional. Di samping itu, selama tiga tahun terakhir nilai tersebut cenderung turun secara berarti. Selain NTT, terdapat tiga provinsi lain yang nilai rerata UN-nya termasuk rendah, yaitu di bawah 6,00. Ketiga provinsi tersebut adalah Kalimantan Barat, Bangka Belitung, dan Sulawesi Barat.
Beberapa faktor yang ditengarai sebagai penyebab rendahnya nilai rerata UN Provinsi NTT antara lain: tingkat sosial ekonomi masyarakat yang sebagian besar tergolong menengah ke bawah, kondisi geografis daerah yang kurang subur dan kekeringan, belum optimalnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya pendidikan, dan sistem pengelolaan pendidikan yang masih perlu dibenahi. Para siswa belum dapat fokus dan berkonsentrasi untuk belajar karena harus membantu orang tua mengatasi kesulitan hidup sehari-harinya. Untuk membenahi dan meningkatkan mutu pendidikan di Provinsi NTT diperlukan pengkajian yang sistematis dan upaya serta alokasi sumber daya yang memadai. Penyebab rendahnya nilai rerata UN ketiga provinsi lainnya pada dasarnya hampir sama. Faktor belum optimalnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya pendidikan, kemiskinan, dan sistem pengelolaan pendidikan ditengarai lebih dominan pada ketiga provinsi tersebut.














BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Wajib belajar merupakan salah satu program yang gencar digalakkan oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Program ini mewajibkan setiap warga negara Indonesia untuk bersekolah selama 9 (sembilan) tahun pada jenjang pendidikan dasar, yaitu dari tingkat kelas 1 Sekolah Dasar (SD) atau Madrasah Ibtidaiyah (MI) hingga kelas 9 Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Madrasah Tsanawiyah (MTs).
Landasan pokok keberadaan sistem pendidikan nasional adalah UUD 45 Bab XIII, Pasal 31, ayat (1). Selain itu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar.
Program Wajib Belajar 9 Tahun akhir tahun ini ditargetkan tuntas dengan indikator pencapaian APK SMP secara nasional minimal 95%. Data yang ada memperlihatkan bahwa APK SMP pada akhir tahun  2007 telah mencapai angka 92,52%. Artinya, ditilik dari perluasan akses pendidikan, program Wajib Belajar Sembilan Tahun sampai sejauh ini dinyatakan sukses.
Namun demikian, keberhasilan perluasan dan pemerataan akses pendidikan tidak seiring dengan dengan keberhasilan meningkatkan mutu pendidikan. Kurikulum dan materi pelajaran yang disajikan pada jenjang pendidikan dasar masih belum mampu membuat peserta didik mengalami “joy of discovery” dalam proses belajarnya.  Organisasi kurikulum belum mengarah pada proses pembelajaran yang membuat siswa learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be. Jika empat pilar tersebut dapat diterapkan secara paripurna, dapat diartikan proses pembelajaran memungkinkan peserta didik menguasai cara memperoleh pengetahuan, berkesempatan mene­rapkan pengetahuan yang dipelajarinya, dan berkesempat­an berinteraksi secara aktif dengan sesama peserta didik sehingga dapat menemukan dirinya.
Pada sisi lain, kondisi mutu guru di Indonesia juga masih belum ideal. Secara nasional  jumlah guru dari TK sampai dengan SMA berjumlah 2.245.952 orang. Dari jumlah tersebut, guru yang memenuhi syarat menurut UU No. 20/2003, artinya yang telah memiliki kualifikasi pendidikan S1 atau lebih, baru berjumlah 37,3% (837.460 orang). Sedangkan guru yang “belum layak”, atau memiliki pendidikan di bawah S1/D4  jumlahnya masih 1.408.492 orang
Sementara itu, mutu hasil pendidikan yang diukur melalui Ujian Nasional, memperlihatkan deviasi pencapaian rerata nilai yang cukup jauh. Anak-anak dari  daerah yang maju dengan tingkat kesejahteraan baik, rata-rata mampu mendapatkan nilai UN cenderung tinggi. Sebaliknya, provinsi yang “miskin” nilai rerata hasil UN siswa SMP relatif lebih rendah. Dengan demikian, jika nilai hasil UN digunakan sebagai standar mutu pendidikan sebenarnya kurang tepat. Hal ini disebabkan faktor-faktor yang mempengaruhi pendidikan masing-masing daerah, misalnya: tingkat sosial ekonomi masyarakat, kondisi geografis, kesadaran masyarakat tentang pentingnya pendidikan, dan sistem pengelolaan pendidikan, sangat bervariasi.

B. Saran
            Dalam mencapai program wajib belajar 9 tahun dibutuhkan perhatian dari semua pihak, baik dari pemerintah, sekolah, orang tua dan masyarakat. Baiklah pemerintah memberikan perhatian yang lebih kepada dunia pendidikan demi peningkatan mutu pendidikan Indonesia, dan semoga masyarakat dan orang tua juga dapt menyadari bahwa pendidikan itu penting sehingga memperbolehkan anak-anak untuk ikut sekolah dan menuntut ilmu demi masa depan yang lebih baik dan guru juga harus meningkatkan mutu pengajarannya agar dapat meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia juga dan dapat memfasilitasi anak didik dengan baik.  Selain dari orang tua motivasi dari dalam diri anak juga perlu ada karena jika motivasi anak sudah timbul dalam diri anak maka anak akan semangat untuk sekolah dan belajar serta menuntut ilmu di sekolah.






DAFTAR PUSTAKA
David Atchoarena dan Francoise Caillods. 1998. Pendidikan Untuk Abad XXI UNESCO: Unesco Publishing.
Direktorat Pembinaan SMP. 2008. Panduan Pelaksanaan Sosialisasi Wajib Belajar 9 Tahun yang Bermutu. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Direktorat Pembinaan SMP. 2008.  Analisis Perkembangan Nilai Ujian Nasional TA 2004/2005 Sampai Dengan 2007/2008. Jakarta: Depdiknas.
Ditjen PMPTK. 2007. Rencana Pembangunan Tenaga Kependidikan. Jakarta: Depdiknas.
Jerome S. Arcaro. 2008. Pendidikan Berbasis Mutu. Jakarta: Rineka Cipta.
M, May. 1998. Pekerja Anak dan Perencanaan. Aus:AID.
Prayitno. 2000. Hak dan Kewajiban Pendidikan Anak. Padang: Jurusan BK FI P UNP.
Soedijarto. 2008. Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.